26 September 2013

Liverpool Hanya Menjadi Liverpool

Awal musim seolah score 1-0 menjadi kekasih idaman bagi Liverpool FC, terus menerus menang secara beruntun, 3 points demi 3 points diraih sampai ketika berada di TOP OF THE LEAGUE.


Wajar, ya sangat wajar jika kita berfikiran positive akan musim ini, start terbaik dalam 5 tahun terakhir dan  banyak lagi fakta  atau ucapan manis yang menjadi psywar bagi supporter lain.

it’s easy to support a team when in glory, but to support a team when in struggle. shows your character…

Tapi dalam 2 pertandingan terakhir melawan Saints & Manchester United di COC, Liverpool menjadi Liverpool dengan special skill dalam hal inconsistency. Masalah yang awalnya sudah dikira telah terobati ternyata kambuh lagi.

Tapi yang menjadi hal positive dalam 2 pertandingan kemarin adalah dimana kita dapat melihat dalam 2 pertandingan itu Liverpool melakukan perubahan taktik yang signifikan. Pertandingan pertama melawan Saints, Liverpool memainkan 4 Center Back (I don’t get why Mr.Brendan Rodgers doing this).  

Pertandingan kedua melawan Manchester United yang sebenarnya Manchester United tidak bermain bagus-bagus amat namun kita tetap tidak beruntung.

Manchester layaknya main tanpa striker, Chicarito hanya belari-lari kecil di kotak pinalti namun sedikit pasokan umpan dan Rooney hanya main outside the box dan juga tidak terlalu berpengaruh, yang terlihat jelas hanya Nani yg starting to dive and dive around the field.

Namun awal menit babak kedua, Chicarito melakukan sihir kotak pinaltinya, tiba-tiba lepas dari marking dan menceploskan bola.

Voodoo.

Sebetulnya ada beberapa kejadian yang bisa membuat Liverpool membalikan keadaan, namun sayangnya beberapa pemain seperti Gerrard dan Sturridge nampak sangat lelah dan akhirnya  sampai ke peluit babak kedua berbunyi the score still 1-0.

Pre match saya sangat mengharapkan menonton permainan Liverpool dengan kombinasi lini depan layaknya Batman dan Robin, Suarez dan Sturridge saling mengisi tapi apa boleh dikata di match itu mereka berdua belum bisa mengisi peran tersebut.  Mereka malah seperti Doraemon dan Nobita dimana 1 memberikan alat mutakhir dan 1 merengek untuk memintanya.

Tapi ya overall dalam match itu Liverpool kembali menjadi Liverpool.

Liverpool yang inkonsisten.

Just manage your expectation.

Jangan sampai diabetes akibat berfikir selalu yang manis-manis.

@farhan_fauzan
Read more ...

25 September 2013

Juara? You must be kidding!



Menjadi juara Liga Inggris adalah sesuatu yang tak pernah terlintas di otak para liverpudlian, the kop, the wools atau apapun sebutan untuk pendukung Liverpool sebelum musim ini bergulir. Tapi tiga kemenangan beruntun di awal musim, meskipun dengan permainan yang tidak cukup baik (pas-pas an), membuat para pendukung Liverpool mulai ngelamun jorok dengan membayangkan Steven Gerrard mengangkat trofi Premier League dan bermandikan confetti di akhir musim.

Apalagi melihat jadwal pertandingan Liverpool lima pekan setelahnya yang (katanya) winnable. Yes, this year could be ours!. Tapi supporters Liverpool lupa jika tim kesayangannya selain paling jago membuat jantung supporternya berdetak lebih cepat dari gebukan drum Travis Barker juga menjadi tim paling inkonsisten di dunia. Ya, setelah tiga pertandingan menang dengan cara membuat supporternya sport jantung (baca: susah payah) , bahkan melawan tim medioker sekalipun, Manchester United, Liverpool perlahan mulai menunjukan inkonsistensinya setelah bermain imbang vs Swansea dan kalah lawan Southampon, tim yang juga terakhir kali mengalahkan Liverpool musim lalu.

Harus diakui, Liverpool adalah tim dengan materi pemain paling jelek dari anggota big six lainnya. Ketika tim lain memiliki marquee player signing  seperti Willian, Soldado, Fellaini, Jovetic, dan Ozil, Liverpool hanya bisa melabeli marquee player kepada Mamadou Sakho. Saya tidak meragukan kemampuan Sakho, hanya saja keengganan Liverpool untuk memboyong attacking player dengan harga mahal sehingga membuat Sakho yang hanya berharga sekitar 18 juta pounds menjadi pemain termahal Liverpool musim ini membuat saya dan pasti semua pendukung Liverpool sedikit pesimis sebelum musim bergulir.

Bagaimana tidak? Jika tim–tim big six lainnya membeli attacking player yang sebagian sudah disebutkan diatas, liverpool hanya membeli Iago Aspas dan Luis Alberto. Mereka bukan pemain yang bisa langsung mengisi starting line up Liverpool. Dan cedera Coutinho pun membuat materi dan kedalaman skuad Liverpool yang memang sudah tipis menjadi makin tipis, lebih tipis dari tisu gulung di toilet. Tanyakan pada Steven Gerrard dan Lucas Leiva bagaimana lelahnya bermain setiap menit dan setiap pekan karena tak ada pengganti yang sepadan di posisi mereka. Menepinya Coutinho sampai akhir Oktober juga membuat serangan Liverpool minim kreativitas, tak ada pemain lain yang mempunyai visi yang bagus untuk membuat umpan-umpan terobosan selain dia. Siapa lagi yang bisa diandalkan untuk menyuplai bola ke lini depan? Gerrard?, posisinya yang lebih dalam dari Coutinho membuat umpan-umpan langsungnya kepada striker lebih mudah terbaca dan terpotong.

Untungnya performa menawan Mignolet bisa menutupi kinerja buruk  lini depan dan membuat Liverpool tidak kebobolan banayak sehingga mampu mendulang poin di empat laga awal. Tanpa Mignolet, pendukung Liverpool mungkin tak akan pernah melamun jorok dengan berfantasi liar kalau Liverpool akan juara. Tanpa Mignolet pula Liverpool mungkin sudah berada di luar 10 besar.

Dengan keadaan memprihatinkan seperti ini, orang-orang yang awalnya optimis Liverpool bisa juara pun mulai waras. Jangankan juara, untuk masuk posisi empat besar pun butuh kerja keras sembari berharap para rival terpeleset. Arsenal dan Tottenham Hotspur, dua tim teratas di klasemen sementara yang notabene  pesaing Liverpool untuk memperebutkan satu pos terakhir  di klasemen untuk Liga Champions terlihat semakin mengerikan dan berbahaya. Belum lagi Chelsea dan Manchester City yang perlahan mulai menunjukan kelasnya sebagai tittle contender.

“You must be kidding” ditujukan untuk orang-orang yang percaya jika Liverpool mampu menjuarai Premier League musim ini.  Dan jika Liverpool juara *finger crossed*, maka anggap saja tulisan ini adalah kidding karena meragukan kalau Liverpool bisa juara.


@oka10prabawa
Read more ...

Ujian Bagi Sang Raja



Di tanah Inggris, atau tepatnya, Barclays Premier League, ada satu klub yang menduduki takhta tertinggi di klasemen sementara. Tak lazim, asing, dan bahkan tak terpikirkan di akal sehat para pecinta sepakbola sekalian. Liverpool Football Club, sebuah klub yang belakangan sering dicibir karena sudah empat musim terakhir gagal duduk di empat besar. Tak lazimnya, klub ini belum tersentuh kekalahan, penyerang andalannya, Sturridge, menduduki takhta top skorer di liga dan kipernya mencatatkan tiga clean-sheet dan saves terbanyak. Menurut para pendukung Liverpool yang jauh lebih dulu mengabdi ketimbang saya, mereka mengatakan ini start terbaik sejak terakhir 19 tahun yang lalu. Menariknya, hasil baik ini dicatatkan tanpa kehadiran bomber kontroversialnya, Luis Suarez, yang pekan depan akan habis masa sanksinya. Well...

Disini, konsistensi akan diuji. Liverpool sangat jarang berada di empat besar, alih-alih pemuncak klasemen, di awal kompetisi berjalan. Melihat jalur kemenangan di tiga laga awal, semua disapu bersih dengan tiga kemenangan, tiga gol tunggal Sturridge di masing-masing laga, clean-sheet kiper anyar Mignolet, dan hebatnya, semua adalah klub yang sukses mengalahkan Liverpool musim lalu,. Bahkan, Manchester United yang musim lalu menaklukkan Liverpool home dan away, terpaksa menunduk kesal kala di menit ke 4 gawang De Gea dibobol Sturridge. 

Namun, hasil sedikit berbeda kala melawat ke Liberty Stadium, kandang dari Swansea City yang berhasil memaksa Liverpool berbagi poin, padahal menurut para pengamat sepakbola diluar sana, laga ini harusnya menjadi penyumbang tiga poin sempurna. Apa sebab? Beberapa faktor dimalam itu dan (mungkin) menjadi faktor penentu di beberapa laga kedepan.

1. Ketidakhadiran pemimpin dibelakang
Absennya Kolo Toure dan Daniel Agger memaksa Rodgers menurutkan muka lama tapi baru, Martin Skrtel dan ditandemkan dengan wajah segar nan berkarakter Mamadou Sakho, pemain termahal Liverpool musim ini. Duet mereka cukup bagus, namun tak bisa menjaga fokus hingga terpaksa membiarkan Michu membobol gawang Liverpool di jelang akhir laga

2. Tumpulnya serangan dari kanan
Kemenangan lawan Man. United dibayar mahal dengan cederanya tukang blok terbanyak dilaga itu, Glen Johnson, akibat bertabrakan dengan Evra. Terlihat saat melawan Swansea, Wisdom, sering out-of-position. Kurang penetrasi kedepan, sehingga menyebabkan serangan di sisi kanan kurang hidup. Henderson yang dipercaya mengisi sisi kanan harus bekerja ekstra melindungi bola dan sesekali harus mengirimkan bola lambung karena kesulitan bertukar posisi dengan Wisdom

3. Minim kreativitas 
Coutinho, playmaker terbaik kita sejauh ini, berperan penting mengobrak-abrik pertahanan. Gaya khasnya yang ditempatkan disisi kiri sering kali menusuk ketengah dan menjadi 'dummy' untuk menarik bek dan memberi ruang atau sesekali mengirim umpan cantik ke Sturridge maupun Aspas. Namun, apa daya, hantaman Ashley Williams dan salah posisi jatuh menyebabkan Coutinho harus menepi sekitar 5-6 pekan. Sebuah kehilangan besar bukan? 

4. Iago Aspas
Pemain baru ini diproyeksikan sebagai pelapis Suarez dan berhasil menyempurnakan debutnya dengan 1 assist, namun di 3 laga terakhir belum bisa menunjukkan kreativitasnya seperti saat masih di Celta Vigo. Dia sendiri pernah berkata bahwa Inggris dan Spanyol memainkan sepakbola berbeda. Alasan yang cukup masuk akal, jika kita tak membandingkan debutnya dengan si nomor 9 terdahulu.

Namun, bukan berarti tidak ada faktor baik juga. Kembalinya Suarez di pekan ke 6, kemungkinan pulihnya Daniel Agger dan Kolo Toure dalam waktu dekat, dan kecemerlangan Luis Alberto kala bermain bersama U-21 diharapkan mengangkat moral sang raja yang rekor clean-sheetnya ternodai 2 gol Selasa lalu. Belum lagi debut Moses yang sempurna dengan golnya kemarin, Ilori yang katanya memiliki sprint cepat, dan jika Sturridge telah fit 100%, sang raja akan 'betah' berada di puncak klasemen untuk waktu yang lama.

@denny_thereds
Read more ...

22 September 2013

Gerrard Bukan Dewa, Bung!!

Semua fans Liverpool mengagung-agungkan Steven Gerrard. Ya, gelandang satu ini memang menjadi satu-satunya bocah lokal yang saat ini paling senior di tim. Rasa hormat dan gentar pun datang dari rekan maupun lawan jika bertemu dengan Captain Fantastic.


Gerrard telah mengangkat banyak trofi (mereka bilang). Tak ada yang bisa melupakan aksi heroik sang pemain di Final Liga Champions 2005. Serta dilanjutkan final Piala FA satu tahun kemudian.

Gerrard sudah mengangkat semua trofi kecuali Premier League, Piala Dunia, dan Piala Eropa (mereka bilang, berarti tak semua dong.). Ketika banyak pihak dari pemain, jurnalis, hingga fans gentar untuk membicarakan sang pemain, belum ada juga manajer yang mampu membuat posisi Gerrard terpenggirkan.

Pengaruh dan pengalaman Gerrard memang penting untuk skuad muda Liverpool saat ini.Umpan Hollywoodnya (kadang) masih berguna. Tendangan bebas dan assistnya pun masih berbahaya, tapi apa lagi?

Ketika tim-tim pesaing sudah memiliki gelandang modern dengan segala atribut istimewa dan unik, Liverpool sulit untuk mengempaskan Gerrard sesaat saja. Bukan memojokkan sang pemain, tetapi Brendan Rodgers harus sadar Gerrard tak muda lagi dan tak mungkin bermain terus-menerus di semua kompetisi yang diikuti.

Alessandro Del Piero adalah legenda Juventus tetapi pada beberapa musim terakhirnya, sang pemain acap dicadangkan. Paul Scholes dan Frank Lampard juga menjadi bukti sahih nama besar bukan tak mungkin di(pinggirkan)istirahatkan. Ryan Giggs, Javier Zanetti, hufff...

Gerrard pemain pemalas. Ketika dia sudah tidak mood untuk bermain maksimal, yang ada adalah passing asal serta intercept lawan yang berbuah serangan balik. Posisinya terlalu krusial saat ini sehingga bisa dimanfaatkan lawan.

Ketakutan manajer mencadangkannya juga menjadi masalah. Liverpool tak memiliki gelandang setara Gerrard? Saya pribadi menganggap Joe Allen, Jordan Henderson, dan Luis Alberto bisa menjadi pasangan Lucas Leiva jika dibiasakan.

Namun, itu tak dilakukan. Gerrard adalah Dewa yang jika engkau menyentilnya sedikit saja, maka laut akan terbelah, petir menghantui bumi, serta api neraka melonjak naik ke permukaan.

Liverpool sulit berkembang selama Gerrard masih berada di dalamnya. Liverpool adalah sebuah tim, ya Gerrard pemain paling dihormati, tetapi sepak bola modern membutuhkan faktor yang lebih besar dari kehormatan.

Man. City memiliki Yaya Toure dan Fernandinho. Chelsea bangga dengan Ramires, Obi Mikel, hingga Oscar yang dianggap sebagai defensive playmaker terbaik saat ini.

Man. United memiliki double pivot terbaik di ranah Britania pada Michael Carrick dan Tom Cleverley, serta baru mendatangkan salah satu gelandang terlengkap di dunia bernama Marouane Fellaini. Arsenal? Mikel Arteta sang metronom baru sembuh. Anchor masa lalu terbaik bernama Mathieu Flamini telah kembali, dan Aaron Ramsey, seorang box-to-box modern berusia 22 tahun yang telah mencetak enam gol musim ini. (Jangan paksa saya menyebut nama jack Wilshere dan Abou Diaby).

Tottenham Hotspur memiliki Sandro, Mousa Dembele, Paulinho, Etienne Capoue, dan banyak gelandang muda berbakat. Saya tak mengatakan Liverpool kalah kualitas terkait lini tengah, tetapi, Rodgers patut mencoba gelandang lain dengan atribut berbeda, Liverpool bukan hanya Steven Gerrard seorang.

"Saya membutuhkan kompetisi pada tiap posisi. Pemain yang terlalu nyaman pada posisinya tidak baik untuk perkembangan sebuah tim," ucap Rodgers beberapa hari lalu. Ironisnya, hal ini tak terjadi pada Gerrard, Rodgers seperti menelan ludah sendiri.

Tak baik memaksakan dan memberi beban kepada sosok berusia 33 tahun itu. Performa Gerrard menurun drastis saat melawan Swansea City dan puncaknya terjadi kala dikalahkan Southampton.

Jujur, saya sangat berharap Joe Allen bisa step up musim ini serta Luis Alberto yang memang menjadi salah satu stylish midfielder yang Liverpool miliki.

Feeling adalah Feeling, tetapi selama Gerrard masih terus diforsir, malah akan menjadi bumerang dan The Reds sulit mencapai performa paling maksimal. Disayangkan karena posisi Liverpool saat ini cukup baik untuk comeback dari keterpurukan yang mulai mendarah daging.

@FakeRegista
Read more ...

19 September 2013

Siapa pengganti peran The Number 10 Role?

Ada kepanikan yang melanda saat Philippe Coutinho dipastikan harus menepi hingga akhir Oktober nanti, seperti dilansir oleh website resmi club. Betapa tidak sejak kedatangannya ke Anfield, kedua kakinya seperti selalu siap untuk memperlihatkan sihir.


Wajar sebenarnya, melihat apa yang terjadi setelah musim lalu saat Liverpool terpuruk, kedatangannya bagai seorang suci yang datang memberikan air minum di tengah padang gurun kepada para musafir yang berjalan jauh dan kehabisan persediaan air.

Gambaran yang diberikan di atas bukan tanpa alasan. Sebelum bermain pragmatis pada setiap babak kedua dalam lima laga Liverpool di awal musim ini, Brendan Rodgers mencoba mati-matian untuk membuat sistem umpan-umpan pendek yang bedasar pada penguasaan bola nyetel di skuat yang dihuni oleh pemain-pemain seperti Charlie Adam, Stewart Downing atau bahkan Steven Gerrard.

Hasilnya buruk. Terlebih melihat serangkaian lawan yang harus dihadapi oleh the Reds di awal musim lalu, saat tim semenjana yang berada di posisi delapan dua musim lalu mestinya di-derby-kan bersama tim-tim yang selevel seperti Southampton, Newcastle, Sunderland, West Brom, West Ham dll. Alih-alih seperti itu, Premier League membuat jadwal berurutan bertajuk Bigmatch yang saya masih bingung di mana sisi ke-Bigmatch-nya, apalagi super jeger.

Lalu datanglah Coutinho dan Daniel Sturridge - mereka adalah missing piece yang dicari oleh sistem baru di klub. Laiknya seorang menteri pendidikan baru yang mengubah kurikulum dan sebagian muridnya kebingungan dan kepayahan, Stu dan Cou adalah murid-murid bawaan sang manajer agar anak-anak sekolah Liverpool-nya tidak terlalu lama beradaptasi karena jika tidak mungkin mereka akan tinggal kelas.

Keduanya missing piece karena Sturridge menawarkan alternatif finisher di depan gawang lawan karena terlalu bergantungnya Liverpool pada Luis Suarez pada musim lalu, ia pun termasuk kategori pemain versatile yang dapat dimainkan di sisi manapun di lini depan, ditambah kemampuannya untuk membuka ruang serta dribble bola yang menurut saya masih lebih baik ketimbang Downing.

Sedangkan Coutinho datang di saat yang tepat. Dia adalah contoh seseorang yang datang di waktu yang tepat dan kebetulan dia adalah orang yang tepat. Walaupun masih muda, dia memiliki kemampuan sebagai seseorang yang lahir dari Brasil. Bukan sosok langka seperti Lucas.

Defence spitting-passes atau agar lebih gampang saya menyebutnya umpan terobosan pembelah pertahanan adalah satu hal yang paling penting dalam penyelesaian dari pengusaan bola di lini tengah. Liverpool kekurangan seseorang yang dapat melakukan hal ini bahkan mungkin sebelum kehadirannya tidak ada pemain yang mampu melakukan umpan ini.

Umpah lebih banyak dari kaki-ke-kaki yang akhirnya sampai di pemain sayap yang pasti kejadiannya akan melakukan crossing atau mencoba menembus masuk. Ini akan terbaca lama kelamaan dan untungnya Coutinho dapat melakukan hal ini dengan sempurna.

Saat ia melakukan aksi solo dan pemain lawan tertarik untuk menjaganya lebih dari seorang maka akan  ada satu pemain yang berdiri bebas di final third dan contoh paling nyata dari kejadian ini adalah laga lawan Newcastle di St. James Park.

Musim 2013-14 berjalan nyaris sempurna untuk Liverpool namun Coutinho sejujurnya belum kembali menjadi Coutinho di paruh kedua musim lalu. Kemungkinan dimainkannya dia di sisi kiri bisa menjadi alasan tapi sejujurnya apa yang dia lakukan sejauh ini masih kalah menonjol dari Iago Aspas.

Coutinho hingga empat laga sama sekali belum memberikan assist - kecuali dummy brilliannya saat gol Sturridge di Villa Park -, dibandingkan dengan Aspas yang sudah mengoleksi satu assist nyata. Total key pass dari pemain asal Brasil ini pun kalah dari Aspas. Sebagai perbandingan Aspas membuat 1.8 key passes per game di mana total dari empat laga adalah tujuh key passes; sedangkan Cou membuat enam key passes dengan rataan 1.5 per game. Yang menonjol adalah dribble pemain no.10 yang mencapai angka 8 kali melewati pemain lawan dengan rataan 2 dribble per game dibandingkan dengan aspas yang hanya 0.3 per game.

Tanpa dirinya di skuat seperti hidup tanpa didampingi olehnya yang tersayang, dan Coutinho sebagai magician sebenarnya tidak tergantikan di skuat Liverpool yang kekurangan flair ini.

Tapi Rodgers mau-tidak-mau harus melakukannya hingga akhir Oktober nanti. Berikut adalah calon-calon pengisi posisi The Number 10 Role:

1. Steven Gerrard

Gerrard menjalani ini pada musim 2007-08, 2008-09, 2009-10 dan sebagian kecil di musim selanjutnya saat Roy Hodgson dan Kenny Dalglish menjabat. Faktor umur, fisiknya yang sudah menurun drastis, cedera, serta kecakapannya menjalani deep playmaker role dengan total key passes tertinggi di Liverpool musim ini dengan total sembilan atau sama dengan 2.3 key passes per game - akan lebih bijak menempatkannya di posisi yang membuatnya lebih kalem dan mampu bermain sepanjang musim di posisi yang lebih dalam ini.

2. Jordan Henderson

Henderson mengalami kemajuan yang super pesat dari sejak sakit perut dan memaksakan bermain saat bertandang ke Loftus Road markas QPR musim lalu. Dia adalah pekerja keras, dia tidak berhenti berlari - ada kabar bahwa dia masih mengelilingi Anfield selama 24 jam setelah menang lawan Manchester United (bagi yang percaya kata-kata ini, Anda membuat saya speechless).

Dia bisa menjalani peran sebagai CAM tapi dia kekurangan setuhan magic. Dia dapat menjalani peran sebagai pengunci lawan yang mempunyai deep playmaker hebat dalam diri Michael Carrick tapi untuk menyerang saya tidak akan memilih dirinya di posisi ini.

3. Joe Allen

Allen is a decent player, tapi dia bisa lebih baik lagi jika dimainkan di posisi Lucas atau Gerrard. Bukan sebagai CAM. Saya tidak tahu bagaimana dia di Swansea fasih bermain di posisi ini atau tidak karena dia berubah menjadi mimpi buruk bermain di posisi ini.

Sebagai reference yang cukup revelan coba ingat-ingat saat dia bermain melawan United.

Potensinya mengalirkan bola sebagai deep playmaker akan terlihat lebih menonjol.

4. Luis Alberto

Dia mencetak hattrick lawan Sunderland U21 semalam, namun Premier League adalah sesuatu yang berbeda, walau tidak ada salahnya mencoba dia adalah salah satu calon terkuat di posisi ini.

5. Luis Suarez

Menempatkannya yang akan kembali pada laga di Piala Liga bisa saja terjadi. Tapi bayang-bayang menempatkan seorang penyerang di posisi ini membuat saya kembali ke laga Piala FA saat dihancurkan oleh Oldham.

Keengganannya untuk datang menyambut umpan lebih dalam dan lebih banyak berkutat di depan menjadikannya lebih sering out of position. Akan lebih baik jika dia bertukar posisi dengan Sturridge di depan, atau malah menjadi striker tengah dan membiarkan Sturridge untuk beristirahat.

Ada banyak pilihan lain, tapi dengan Rodgers tampak tidak akan banyak bereksperimen mengingat posisi Liverpool masih di puncak klasemen dan lawan yang dihadapi berikutnya masih satu level.

Sebetulnya jika Brendan Rodgers pintar dia akan memboyong Coutinho ke Indonesia dan langsung dibawa ke Cimande. Dijamin sembuh paling lama 2 minggu.

@MahendraSatya
Read more ...

4 September 2013

Manchester United, Puncak Klasemen, dan Inkonsistensi

Apa sih hal yang paling menyenangkan dari mendukung sebuah klub? Kalau menurut saya, sih, bisa kipas-kipas mendengarkan kawan saya menggerutu 1000 alasan bahwa Liverpool tidak pantas berada di puncak klasemen.


Memang benar apa yang didapatkan Liverpool hingga pekan ketiga Premier League ini akan sementara, tapi setidaknya ini seperti secara sekilas meninggalkan luka sejenak penyakit-penyakit tim Merah asal Merseyside ini.

Saya tidak mampu mengingat kapan terakhir kali Liverpool berada di pucuk klasemen, saya lupa akan rasa berada di puncak klasemen liga, tidak terpikirkan sama sekali dalam benak ataupun pikiran logika bahwa kita kini tidak perlu membalikan halaman koran atau meng-scroll down mouse untuk melihat di mana posisi Liverpool berada laiknya empat tahun belakangan terjadi.

Menganut azas bahwa berpendapat harus menggunakan teori yang relevan tanpa embel-embel kefanatikan terhadap klub ini, permasalahan mendasar masih menjadi momok terbesar. Despite in fact, i keep support this team no matter how bad they're playing week in and out - sulit mencari akal sehat bahwa mengambil alih pimpinan klasemen terjadi lewat cara terbaik yang tak terbayangkan.

Menurut Who Scored, laga lawan Manchester United kemarin menghasilkan dua nama dengan nilai tertinggi, yaitu double pivot yang berada tepat di depan empat bek, Lucas Leiva dan Steven Gerrard. Lucas berhasil menaikan level permainannya setelah galau dalam 90 menit di Villa Park. Tidak perlu menjelaskan bagaimana Gerrard bermain, pada dua menit awal laga saat ia meluncur melakukan tekel saya yakin dia sedang dalam kondisi terbaiknya atau mungkin dia mendapatkan motivasi dua kali lipat dari biasanya karena lawannya adalah rival berat yang kelewat sombong.

Memulai laga dengan segudang masalah, saya termasuk orang yang tidak terlalu optimis bahwa the Reds akan keluar sebagai pemenang dalam North-West Derby hari Minggu lalu. Ada pergolakan batin sesaat setelah partai melawan klub asal kota tokoh Robin Hood selesai dimainkan. Nama-nama seperti Daniel Sturridge yang menjadi pahlawan di dua laga awal dengan dua gol tunggalnya masing-masing melawan Stoke dan Villa, Gerrard yang sekarang berusia 33 tahun, Glen Johnson hingga Daniel Agger yang memang retan cedera.

Belum lagi masalah tambahan bahwa banyaknya pemain yang harus ditarik keluar karena cedera dan bermain lebih lama dari waktu normal. Joe Allen mengalami cedera hamstring yang tidak akan sembuh dalam waktu dekat, Aly Cissokho yang menjalani debutnya harus ditarik dimenit awal juga karena cedera, terakhir Kolo Toure yang membuat Christian Benteke sama sekali tidak berbahaya terlihat sangat kesakitan hingga harus ditandu keluar lapangan - semua cedera yang menghampiri seperti mengikis akal sehat saya untuk semakin tersisih sebelum berhadapan dengan United.

Kegagalan strategi dan rencana Brendan Rodgers untuk cepat-cepat 'membunuh' peluang Notts County untuk menang gagal total. Gagal mengganti Sturridge yang baru sembuh dari cedera dan memasukan Borini, dan gagal mengganti Gerrard. Tampak jelas seperti melihat gajah dipelupuk mata, jika Anda masih menggunakan akal sehat, peluang menang tidak begitu besar.

Dengan segudang masalah kebugaran, satu-satunya yang bisa diandalkan dari Liverpool untuk memenangi laga hanya tinggal mentalitas para pemain yang memang sudah tradisi saat melawan tim besar mereka akan lebih bersemangat. Melawan United yang tampak impresif saat menahan Chelsea di Old Trafford yang notabene punya skuat yang lebih mewah dari mereka ditambah Jose Mourinho-nya, saya hanya tinggal berharap.

Liverpool menang, walaupun kembali dengan skor tipis dengan segala macam senam jantung yang membuat saya sulit untuk berdiri. Tidak apa-apa tidak bermain cantik yang terpenting adalah kemenangan, karena pada akhirnya secantik-cantiknya sebuah tim yang kalah tetap saja yang dihitung itu yang menang. Tidak apa-apa tidak bermain cantik, kalau akhirnya bisa sambil mengayun-ngayunkan kaki melihat Liverpool berada di puncak.

Setelah jeda internasional ini, dalam lima pertandingan ke depan tim Merseyside tidak akan ketemu lawan yang di atas kertas lebih baik dari diri mereka sendiri. Tapi justru saat inilah yang paling menguji soal mentalitas dan masalah yang seperti mendarah daging selama ini. Inkosistensi.

Jika Liverpool menang melawan Man United, bermain bagus melawan Arsenal dan Manchester City, bersorak-sorai saat menjungkalkan Chelsea, maka kita tidak jarang justru dikecewakan saat melawan tim medioker yang bermain stagnan di lapangan. Melawan tim-tim seperti Southampton, Swansea dan Cardiff yang baru promosi, the Reds justru mempunyai kecenderungan untuk bermain di bawah form. Pentingnya delapan anak baru yang dibawa oleh Bren... Eh, Ian Ayre untuk membangun sebuah mentalitas baru di kubu Liverpool. Mentalitas yang dibawa oleh sekumpulan pemain yang belum merasa diri mereka menang sebelum turun ke lapangan. Jika bisa tetap tampil konsisten dan bersikap di atas lapangan layaknya pemain yang mengenakan seragam merah-merah Liverpool Football Club, rasanya tidak mengapa harus senam jantung tiap laga.

Bla... Bla... Bla...

Apapun yang terjadi di hari esok biarlah menjadi misteri karena memang di situ seni dari olahraga yang susah ditebak ini. Tapi mengutip kata-kata Lucas bahwa suporter lebih baik merayakan kesempatan berada di puncak klasemen selama dua minggu, akan lebih baik daripada merasa insecure atas sesuatu yang belum terjadi.

Berada di puncak klasemen ternyata cukup menyenangkan pemandangannya, tapi di sini dingin dan saya lupa membawa jaket karena tidak menyangka sama sekali kejadian langka ini akan terjadi dewasa ini.

Therefore, for those who didn't bring the sweater along as well, fancy to accompany me here with a little hug. Anyone?

@MahendraSatya
Read more ...

2 September 2013

Let's Talk About Us

Turunkan ekspektasi Anda, saya tidak akan berbicara mengenai rupa-rupa rumor transfer yang bikin jantung kembang kempis. Atau malah ada beberapa yang memang sudah bisa ditebak. Terlepas dari gregetnya transfer musim panas 2013, mari kita bicarakan yang dekat dengan kita. Let's not talk about transfer rumour, let's talk about us.



Minggu malam, 1 September 2013 19.35 WIB. LFC menjamu rival abadinya yang juga merah namun dengan embel-embel setan, MU, di Anfield nan megah. Pertandingan ternyata sudah berjalan kurang lebih 5 menit. Saya yang awalnya ragu-ragu akan nobar atau tidak, baru tiba di venue nobar akbar BIGREDS regional Bandung di salah 1 cafe di jl. Sumatera, Bandung. Pemandangan yang bikin cukup tercengang tampak di tempat parkir restoran tersebut. Pelajaran pula buat saya, untuk datang nobar jauh lebih awal. Kalau ragu-ragu terlalu lama, lebih baik tidur atau nonton 'timeline twitter'. 

Tak mungkin hanya puluhan, tampaknya ratusan orang disayangkan tak berhasil masuk untuk menyaksikan pertandingan yang katanya tidak pantas lagi disebut 'BIG MATCH'. Alasannya tidak lain karena: apalah LFC musim lalu, untuk jajaran tim papan atas klasemen ya tidak termasuk. Medioker (ah i hate to say that). Bagi saya pun yang saya anggap 'Big match' adalah LFC melawan Soton misalnya. Atau tampaknya ditambah lawan Cardiff musim ini (ya itu sih saya). Tapi... potret gerombolan manusia yang bersikeras ingin menonton tim kesayangannya itu menunjukkan ini masih BIG MATCH yang kami tunggu. Dan akan tetap menjadi BIG MATCH. Kami masiv.
Kapasitas venue nobar reguler tersebut sekitar 500 orang. Maksimal. Biasanya pada match-match panas seperti Merseyside Derby, FA cup, atau Capital One, dan lain lain. Itu sudah sangat penuh sesak. Istilahnya hanya bisa nonton orang yang di depan Anda. Tapi, tadi malam, 1300+ (menurut sumber) tiket ludes. sementara diluar masih tersisa ratusan orang lain yang tidak bisa masuk. Bukan BIG MATCH? yeah, whatever. At least we still have BIG passion about our beloved team, LFC. Kami hanya ingin segera melihat klub lawan, kami taklukkan.

Di tengah perasaan takjub atas antusias kawan-kawan pecinta LFC di Bandung, saya tetap penasaran akan match yang terus bergulir. Saya harus mendapatkan tempat nonton secepatnya. Jangan ditanya, anak kos seperti saya bukan hanya tidak memiliki jaringan TV berlangganan. Saya bahkan tidak punya televisi dan belum menganggap TV sebegitu pentingnya, kecuali pada saat-saat tertentu. Bergeraklah saya mencari tempat nobar alternatif yang diinfokan terdapat di salah satu kampus di kawasan Ciumbuleuit. Sesampainya disana, begitu masuk kampus pun saya telah disambut baik oleh komunitas pecinta LFC di kampus tersebut. Dengan mengandalkan perlengkapan dan area  ang sederhana, akhirnya saya dapat mulai menyaksikan match tersebut dari awal babak kedua. Ternyata Sturridge telah berhasil membobol gawang kawalan De Gea, si penggemar Donat, di babak pertama. Skor 1-0. Stu pasti menari saat itu. Venue di kampus tersebut pun ajaibnya penuh. Belum lagi yang tersebar di beberapa titik nobar alternatif di kampus atau cafe lain. Luar biasa. Kami bukan fans layar kaca, layar kaca kami bahkan tidak menyiarkan pertandingan sengit ini. Kami fans yang rela mengejar layar lain kesana kemari demi menyaksikan tim kesayangan kami bertanding nun jauh disana. Di Anfield yang belum pernah kami injak, atau mungkin sudah.. walau cuma dalam mimpi besar kami. Terpaut jarak ribuan mil, perbedaan zona waktu dan sebagainya.

Match berlangsung apik, penambah apik nya adalah penyelamatan-penyelamatan mencengangkan dari Simon Mignolet. Sampai peluit akhir skor tetap 1-0. Tapi, LFC menang! Meraup 3 poin penuh dan berada di puncak klasemen? Rasanya seperti disiram air dari ubun-ubun sampai ke ujung jari kaki. Menyegarkan. Menceriakan. Harap maklumi kami sedikit jumawa. Ini hari yang sempurna. Hadiah yang bagus untuk ulang tahun sang pencetak skor dan bapak kami yang selalu membuat orang senang, Bill Shankly. Luapan kegembiraan serasa tak habis ditelan putaran waktu. Entah sampai kapan... biarlah kami nikmati dulu melongok peringkat 7 yang tak sedang kami tempati. 
Harapan baik selalu meluncur dari benak kami. Melihat LFC di puncak klasemen pada awal musim, pula pada akhir musim. Who knows? Mimpi itu gratis. Dan semangat mendukung kami, belum akan habis.



Hanifa Miryami
@hannybunch

Read more ...