15 January 2014

GRACIAS, GARCIA !


“Thanks to Liverpool FC for making me pass to the history of international football and be part of the Red family, forever.”



Sebut saya berlebihan atau istilah keren sekarang lebay, atau apalah. Tapi demi Zeus, mata saya berkaca kaca saat mendapati kalimat tersebut, dalam  salah satu tweet di timeline saya. Pagi harinya saya diberi pelajaran tentang cara menghargai orang lain. Dan untuk Luis Garcia Sanz, artikel ini adalah bagaimana cara saya menghargai seorang legenda Liverpool FC.

21 Agustus 2004, Anfield. Liverpool menghadapi Manchester City di partai kandang pertama Rafael Benitez sejak memegang tampuk manager. Masih jelas di ingatan saya, arah kamera saat itu menyorot Main Stand, ke arah empat pria Spanyol lain yang di bawa Benitez. Empat pria berharga 20 juta Poundsterling. Satu pemain berharga 6 juta Pounds, bernama Luis Garcia duduk bersebelahan dengan pemuda ganteng berharga 10.7 juta, Xabi Alonso, dan dua pria lain, Antonio Nunez dan Josemi.

Saya ketika itu sedang sangat menggandrungi permainan Championship Manager akibat diracuni seorang rekan kerja saya. Rasa penasaran karena nama-nama pria Spanyol tersebut kurang akrab saya dapati di game CM tersebut, memaksa saya untuk memasukkannya dalam menu pencarian. Dan hasil penelusuran menunjukkan tidak ada statistik atau profile istimewa dari pemain-pemain itu.

Luis Garcia bersama Rafa, membantu Tenerife mentas dari Segunda Division ke La Liga, dengan mencetak 16 gol dari 40 penampilannya. Saat kembali ke klub induk semangnya, Valladolid, Garcia mencetak 10 gol dari 29 pertandingan yang dia lakoni. Diboyong Atletico Madrid di musim 2002/2003, Garcia hanya menyumbang 9 gol dari 32 penampilan. Hingga akhirnya berlabuh lagi ke klub yang mendidiknya, Barcelona memproduksi 7 gol dari 31 penampilan di semua ajang.

Sebagai striker, jelas angka angka tersebut hanya bisa dikatakan lumayan. Djibril Cisse, yang datang lebih dulu sebagai pemegang rekor transfer termahal saat itu, jelas lebih diharapkan untuk bisa lebih produktif.



Empat hari setelah wajahnya menjadi selingan di tayangan pertandingan melawan Man City itu, Garcia bersama dengan si ganteng Alonso diperkenalkan ke publik. Setelahnya, ribuan atau bahkan jutaan supporter Liverpool di seluruh dunia, secara bersamaan atau tidak pasti mengernyitkan dahi. Garcia mendapatkan nomor punggung 10. Nomor punggung yang sebelumnya di miliki oleh pemuda imut anak kampung sini, yang merajuk minta pindah. Michael Owen.

Statistik memang kadang bisa menjadi penipu ulung, ketika ditelan mentah. Dalam kasus Garcia ini, kondisi diperburuk dengan faktor romantisme, sentimental, menye-menye dan sejenisnya. Ekspektasi tinggi untuk pemilik baru nomor 10 harus sedikit ditekan.

Waktu berlalu, game demi game terlewati. Alonso yang diperkenalkan bersamaan dengan nya langsung menjadi idola karena kemampuannya mengatur tempo permainan dan akurasi passing nya. Garcia tampil berbeda,dia adalah Jekyll and Hyde. Dalam satu pertandingan bisa memicu decak kagum, di pertandingan lainnya bisa memunculkan ribuan sumpah serapah. Kebandelannya dalam mencoba flicks and tricks, tak bisa disembuhkan begitu saja, bahkan oleh orang yang merekrutnya, Benitez.

Tak bagus merutuki keadaan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi saat itu, Garcia tidak sekonsisnten pemilik nomor 10 sebelumnya. Hingga tiba rentetan peristiwa yang jika bisa diwakili dengan tanda jasa seperti di militer, bisa menutupi crest Liverpool FC di jersey yang dikenakan Garcia. Hero.

UEFA Champions League 2005, Liverpool menjadi juara  pada musim itu dan berhasil  membuat bandar judi melarat, merepotkan ribuan jurnalis dengan reportase penuh puja puji. Dalam perjalanannya menuju tangga juara, Garcia menjadi nama yang tak boleh dilupakan begitu saja. Dan justru harus mendapat tempat tersendiri dalam benak tiap supporter LFC.

Tiga gol ke gawang Bayer Leverkusen, satu gol di partai kandang dan dua gol di partai tandang mengantarkan Liverpool menuju perempat final. Kemudian tendangan spektakuler yang menaklukkan Buffon yang kala itu adalah kiper terbaik di Eropa, membawa Liverpool  memenangi leg pertama partai perempat final melawan Juventus. Sepak terjangnya tak sampai di situ, gol semata wayang nya di partai semifinal melawan Chelsea, hingga sekarang masih menghantui Jose Mourinho.



Ekspresi Garcia mengangkat tangan meminta penalty saat Nesta menghalangi laju bola di final, yang tak digubris wasit dan malah berujung gol ke-2 Milan di partai final, masih jelas terbayang di benak saya.

Saya tidak perlu bukti lain lagi untuk memberikan predikat legenda pada Garcia, cukup dengan apa yang terjadi di Anfield, 20 Maret 2005, Merseyside derby. Selepas membobol gawang Nigel Martyn di menit 32, Garcia melewati babak kedua, dengan bermain sambil menahan sakit karena cedera.

Semua kenangan manis yang kemudian dikhianati begitu saja oleh pemilik nomor punggung 10 sebelumnya, seperti terkubur dengan apa yang disuguhkan Garcia untuk Liverpool FC. Komitmen, rendah hati dan gol-gol pentingnya membuat Garcia menuliskan sejarahnya sendiri, mendapatkan sendiri hati para supporter.

Luis Garcia Sanz, mengakhiri perjalanan karir nya bersama Liverpool pada musim 2007/2008, setelah mencetak hanya 30 gol dari 121 penampilannya di semua ajang. Kepindahannya ke Atletico Madrid, konon secara tidak langsung menjadi “tambahan” biaya untuk mendatangkan Sanz yang lain, yang kemudian menorehkan rekor gol yang lebih mengkilap. Fernando Torres Sanz.

Ada pelajaran dari perjalanan karir King Luis ini, anda cukup menjadi diri anda sendiri, lepas dari bayang bayang orang lain, memberikan bukti kerja anda, dan ada saat dibutuhkan untuk bisa dikenang selamanya.

Jika Luis Garcia merayakan momen nya mencetak gol dengan memasukkan jempolnya ke mulut, saya tidak akan melakukan hal yang sama di hari dimana dia menyatakan pension dari sepakbola. Jempol saya akan saya angkat untuk King Luis.

Andai sahabat dekat saya yang mengajarkan tentang menghargai orang lain itu masih berkenan, mungkin nanti sore akan saya ajak menikmati Sangria, penghargaan untuk Garcia, The Football Heaven.

Gracias, Garcia!


Written By: Yanuar Ryswanto (@ryswanto)
Read more ...

9 January 2014

Lucas Leiva, Between Hell and Heaven

Pertama kali menginjakkan kakinya di Anfield, tak ada ekspektasi yang datang kepada Lucas Pezzini Leiva. Digaet Rafael Benitez sebagai seorang Trequartista, sosok yang saat itu berambut ikal panjang itu mengalami periode kelam pada dua musim pertamanya.



 Berada di bawah bayang-bayang banyak gelandang yang dianggap berkualitas istimewa, macam Momo Sissoko yang Anchor Murni, Si Nakal Javier Mascherano, Fans para gadis-gadis yang memiliki long pass luar biasa, Xabi Alonso, hingga Steven Gerrard yang…..Untouchable pada masa keemasannya itu, Lucas hanyalah liliput yang menjadi pilihan kelima.

Ironis melihat bagaimana Rafa menyulap sang pemain menjadi gelandang bertahan. Padahal Rafa sempat membuat pernyataan cutup menarik pada swat mendatangkan sang pemain. “I am looking forward to seeing him score goals for Liverpool in the future and [we] believe he has the mentality and the character you need to do well in England,” ungkap Benitez saat itu.

Mendapat cemoohan dari publik Anfield bukan hal baru bagi Lucas muda. Saat itu dia dianggap sebagai gelandang tak berguna yang membuat The Reds hanya bermain dengan 10 pemain. Pass tak berguna, tekel tak tepat, rambut acak-acakan. Untung nasibnya tak sesial Andy Carroll.

Kariernya berbalik 180 derajat pada musim 2010-11. Musim dimana kualitas gelandang Liverpool secara tiba-tiba anjlok. Ada sesosok Martin Poulsen, Jay Spearing, hingga Raul Meireles kala itu yang dilansir sebagai pengganti Xabi, Masherano, dan Sissoko.
Lucas bersama Gerrard menjadi nyawa utama tim yang sedang terseok-seok membantu seorang Fernando Torres yang memotong pendek rambutnya karena frustrasi. Pada musim itu, Lucas menjadi pemain terbaik Liverpool pilihan fans. From Zero to Hero. Kata mereka.

Transfer ilmu Mascherano dan Xabi kepada Lucas sedikit banyak berhasil. Tetapi tak akan sempurna jikalau keduanya tak berminat gabung dengan Real Madrid dan Barcelona. Mungkin tak akan ada cerita dongeng serupa Lucas Leiva saat ini.

Pemain yang dianggap sangat menyayangi keluarga ini juga sempat mengalami dua cedera cukup berat. Cedera Ligamen Lutut yang membuatnya absen hampir sepanjang musim 2011-12 menjadi titik tersendiri. Cedera itu terjadi saat Lucas berada di puncak performanya. Comeback pada musim lalu, sang pemain kembali absen 3 bulan karena cedera paha.

Banyak pengamat sepak bola dan fans menilai sang gelandang tak bisa tampil maksimal kembali saat ini sejak dua cedera berat itu. Meski musim ini posnya masih tak tergantikan dan persentase positifnya kepada tim memang lebih besar ketimbang pengaruh negatif, Lucas seperti berada di satu titik buta.

Meski begitu, saya masih menganggap Lucas sebagai sosok sangat penting di Liverpool. Meski tak tampil semaksimal musim 2010-11, tak ada yang bisa mengisi pos gelandang bertahan sesempurna dia sebelum B-Rod sadar kebutuhan seorang Anchor murni. Ketika dia menjadi single pivot bahkan libero karena berada diantara dua bek tengah, itu menjadi orgasme mata tersendiri untuk saya. Terlihat sangat indah. Cara dia mengatur serangan, mengawali pertahanan. Betapa pentingnya pemain ini.

Keberadaan Lucas secara tak langsung sangat penting bagi pemain-pemain yang gagal step-up saat baru bergabung dengan Liverpool. Jordan Henderson, Joe Allen, Iago Aspas, hingga Luis Alberto tentu harus melihat perjuangan Lucas sebelum akhirnya menjadi seperti ini. Nama pertama dapat beradaptasi dengan cepat dan mulai dipuja, hati-hati.

Satu buah titik diantara surga dan neraka. Anfield seperti Neraka saat pertama kali dia datang. Namun, Tuhan membalik dunia dengan mudah ketika sosok Brasil itu secara tiba-tiba menjadi pemain terbaik tim. Sayang, Lucas tak diperbolehkan memiliki sikap jemawa sehingga cobaan berupa cedera berat pun mengampirinya. Karena itu, dia saat ini sedang ada di titik gravitasi antara dua medan yang berbanding terbalik itu. Sama seperti posisinya di Liverpool, sebagai Metronom.

Lucas adalah contoh sebenarnya seorang pemain sepak bola. Dia bukan Steven Gerrard yang memiliki kemampuan dan bakat sejak muda serta menjadi legenda klub karena loyalitas sebagai anak kampung Anfield. Dia juga bukan Daniel Agger. Sesosok sempurna seorang pria, yang tampan, memiliki banyak tato, sikap baik, dan tangguh di lapangan. Tetapi Gelandang bertahan ini mengajarkan kehidupan di dunia sepak bola profesional. Bukan sebuah kisah miris yang hampir selalu diceritakan pesepak bola akan masa lalu, tetapi kisah yang secara nyata dilihat oleh fans di atas lapangan.

Musim ini, Lucas acap membuat tekel-tekel berbahaya yang berbuah kartu kuning cukup banyak. Tekel yang dirasa tak perlu dan hanya kecerobohannya saja. Di lain sisi, entah berapa intercept dan tekel indah yang dia lakukan. Belum lagi passnya yang selalu di atas rata-rata.

Selamat ulang tahun ke-27 untuk pemain yang memberikan contoh kepada rekan, manajer, fans, hingga keluarganya. Terima Kasih atas kesabaran dan perjuangan yang engkau berikan secara ikhlas kepada Liverpool. Perjuanganmu membuat sematan Legenda rasanya layak datang pada saatnya nanti.

Lucas tidak akan menjadi gelandang seperti Yaya Toure, Xavi Hernandez, atau Luka Modric yang acap disorot karena kapasitas di atas lapangan yang luar biasa. Tetapi, Lucas akan menjadi metronom terpenting tim dan menjadi pemain yang tak akan dilupakan fans. Pemain yang memilih titik tengah karena sesuatu yg absolut itu dianggap hanya memuaskan napsu dan emosi saja. Lucas Leiva, Between Hell and Heaven.

Written by: @Redzkop
Read more ...