2 June 2013

Mediokeritas, Salah Siapa?

Agak sedikit lucu jika ada seseorang yang menggangap dirinya lebih mengerti keadaan orang lain ketimbang orang yang sedang berada dalam situasi itu sendiri.



Ketika Anda beranjak dewasa, sebutlah masa SMA, setidak-tidak pedulinya Anda dengan dunia luar dalam rangka mengejar nilai rapor berangka sembilan di seluruh mata pelajaran, Anda pasti mempunyai teman yang dekat. Ambil kata Anda sedang ada dalam situasi tertentu, ia adalah yang pertama tahu. Jika Anda dalam sebuah masalah, maka ia secara otomatis, walaupun mungkin bukan yang pertama, akan tahu.

Beberapa dari kita menganggap orang ini sebagai "tempat pelampiasan" jika terlalu banyak pikiran di otak, seseorang yang mau mendengarkan. Tapi tidak jarang orang-orang ini bukan orang yang bisa mendengarkan tapi seorang yang sotoy luar biasa. Mencoba pura-pura mengerti dan memberikan solusi yang sangat tidak masuk diakal tanpa diminta. Orang semacam ini sebetulnya tidak tahu apa-apa walaupun mereka terkesan tahu. Bahkan, ada beberapa yang mengklaim bahwa ia mengetahui segala sesuatu tentang Anda. Iya, saya juga kesal kok.

"Tidak ada yang mengenal diri Anda lebih baik dari Anda sendiri," petikan kalimat dari seorang filosof yang saya gagal ingat namanya. Orang-orang sok tahu tadi mestinya harus segera menghentikan kebiasaan mereka untuk berkata, 'loe tuh ketebak banget, gue ngerti banget elo kaya' gimana.'

Entah kenapa hal yang disampaikan di atas adalah pendahuluan yang cukup relevan kepada kasus mediokeritas Liverpool. Tidak secara langsung memang tapi saya mencoba menarik garis lurus jika Anda sudah terlalu kusut untuk mencari kebenaran.

Beberapa waktu lalu IndoLiverpoolFC memberikan pandangannya mengenai kasus mediokeritas yang dialami Liverpool tahun belakangan. Ini kasus penting karena saya mencintai klub ini seperti juga Anda, bukan Anda yang mendukung klub ini karena membenci Manchester United.

Saya beruntung bisa bercerita kepada calon anak-anak saya nanti bagaimana keajaiban Istanbul, Cardiff, dan final-final dramatis lainnya karena saya adalah saksi mata. Tentu apa yang dikatakan bahwa Liverpool adalah tim medioker menyakitkan seperti memberi jeruk nipis di atas luka lecet lalu berjoget-joget saat melihat kita meringis. Tapi saya setuju dengan hal tersebut.

Liverpool terjebak dalam mediokeritas yang terbentuk dari ketidakmampuan, mismanagemen, ketidakstabilan dan yang paling parah kenyamanan. Tapi mari mengecilkan faktor-faktor yang disebutkan itu menjadi hal yang lebih sederhana dan relevan. Masalah mentalitas dan inkonsistensi seperti yang dibahas beberapa waktu lalu.

Mentalitas bukanlah skill individu dari kaki pemain. Mentalitas bukanlah bagaimana sang pemain mampu membuat lawannya jatuh sambil menangis minta diampuni karena telah dilewati dengan cara yang hina. Mentalitas adalah kemampuan untuk terus menerus bermain dengan performa yang stabil. Bahkan, mungkin, jika tidak berperforma bagus pun tim masih bisa meraih kemenangan. Mentalitas itu bisa dibentuk, dan hal itu lebih mahal dari sekedar uang.

Ada beberapa pendapat yang kebetulan muncul, bahwa pendapat ini sangat salah. Apalagi jika orang tersebut telah beradu pendapat atau meminta petuah dari sang guru besar yang notabene adalah suporter tim rival.

Dengan sangat yakin orang ini datang dengan bangga bahwa menurut rekannya yang suporter Man United beranggapan bahwa Liverpool sudah melakukan pembelian dan mempunyai skuat yang sangat baik musim ini. Pendapat bahwa skuat Liverpool ini punya mentalitas yang tidak sesuai dengan nama besar Liverpool adalah salah total. Liverpool itu bagus apalagi materi pemainnya.

Well, saya tidak akan menyalahkan pendapat tersebut karena semua orang bebas berpendapat. Apalagi jika pendapat itu semakin bisa saya mengerti. Suporter Man Utd akan tetap beragumen seperti itu, mungkin, karena ia senang melihat kebawah papan klasemen. Pantas kan jika Liverpool tetap berada di papan tengah klasemen dengan pemain-pemain kelas dunia.

Martin Skrtel, ia terlihat bagus musim lalu, dan ia adalah pemain terbaik musim lalu kenapa pemain botak pemakan paku ini berubah begitu drastis musim ini? Di lapak saya yang lain, saya pernah bilang bahwa ia terjebak dalam zona nyaman. Tapi saya menarik argumen itu dengan mengatakan, ia tampak bermain bagus karena rekan setimnya yang lain tidak lebih bagus dari dirinya musim lalu.

Joe Allen, ia dibawa dengan susah payah dari Swansea atas permintaan Brendan Rodgers. Teman saya yang suporter Man Utd berkata bahwa Allen adalah pemain yang bagus berpotensi. Mungkin sekarang ia sedang menertawakan dirinya sendiri melihat Allen yang bermain tanpa rasa percaya diri. Dengan melupakan catatan statistik, kontribusinya lebih bagus saat ia cedera dan tidak bermain.

Ada perbedaan mencolok saat Xabi Alonso dan Fernando Torres yang datang dari Spanyol. Mereka tidak berada dalam tim yang penuh hingar-bingar seperti Barcelona dan Real Madrid disana. Kedua pemain ini potensial, dan mereka berada dalam asuhan dan tangan yang tepat. Dalam hal ini bukan hanya pelatih, tapi tim secara keseluruhan. Para pemain ini datang sebagai penambah amunisi, saat itu di Liverpool mentalitasnya adalah mentalitas pemenang. Bukan mentalitas yang penting tidak kalah sekarang ini.

Hal tersebut patut dicamkan dan harus diperbaiki karena saya, emotionally, tidak rela Liverpool harus berjuang mendapatkan Carling Cup setiap tahunnya seperti Swansea atau Wigan, klub ini jauh lebih ambisius daripada itu. Liverpool yang saya kenal berjuang hingga peluit panjang dibunyikan untuk menang. Seperti laga-laga yang dulu saya saksikan.

Brendan Rodgers mudah-mudahan benar dengan kata-katanya yang mencari konsistensi. Dan pemain dengan konsistensi tidak ada dalam timnya yang terdahulu. Saya lagi-lagi setuju bahwa ia mencari seorang pemenang, dan saya doakan ia berhasil membawa mereka yang punya mentalitas seperti itu untuk datang.

Satu orang dengan mentalitas berbeda sudah memutuskan pensiun, Kolo Toure tidak akan mengambil posisi Carragher sebagai salah satu legenda yang saya lihat sejak debut pertama kali hingga ia pensiun musim ini. Tapi langkahnya untuk menggantikan sosok pemimpin dengan pemimpin sangat penting di kamar ganti sudah sangat tepat secara teori.

Anda punya cara sendiri dalam mendukung Liverpool, begitu juga saya. Saya tidak meminta untuk menjadi pelatih di Liverpool karena saya tidak berkompetensi untuk hal tersebut. Dan menjadi kritikus juga bukan hal yang jelek-jelek amat tapi yang menjadi persoalan adalah saat ada orang lain yang sok mengetahui persoalan rumah tangga klub ini seakan-akan mereka lebih mengetahui dari suporter tim itu sendiri. Setidak tahunya saya apa yang terjadi dalam tim, setidaknya saya mengikuti setiap laga tim ini bertanding dan bisa menilai apa yang terjadi di lapangan secara kasat mata.

Melihat ke depan cermin akan lebih bijaksana untuk berkaca kenapa tim ini bisa menjadi tim papan tengah yang nanggung saat meraih posisi 4 tidak bisa, tapi terlalu bagus untuk menjadi tim yang berada di papan tengah.

Liverpool Football Club lebih hebat dari cuma sekedar posisi 7. Come on, wake up!

@MahendraSatya
Sumber gambar: Google.com

1 comment:

  1. gw setuju dengan kalimat mendukung club ini bkan karena membenci man.united, sbagai seorang yg sportif dan fairplay gw akui man.united mempunya management yang bagus dalam mengelola smua aspek club dan berlangsung konsisten, ga ada salahnya sbuah club mencontoh atau hanya sekedar memicu semangat club yang lebih baik di 2dekade ini khususnya di BPL, dan memang club ini terlalu bagus untuk bertengger di peringkat 7, tapi gw yakin kedepannya akan lebih baik sambil berharap roda kesuksesan pasti berputar karena7club diatas liverpool pernah merasakan kejayaan club ini, karena pernah berjaya, pasti akan terulang, dan bukan hanya club tak sejarah, tapi juga akan membuat sejarah baru, sejarah tanpa hingar bingar dana yg tak terbatas, dan itu akan lebih merasa bangga, jaga stabilitas tim ayo semangat terus liverpool, fans terus akan dibelakang mu

    ReplyDelete