29 April 2013

Siapa Bilang Jordan Henderson Biasa-Biasa Saja?

Saya termasuk salah satu orang yang tidak menyukai tim kebanggaan saya di rendahkan. Saya yakin, begitu pula dengan anda. Menurut saya, bentuk kedewasaan seseorang dalam hidup bukan dinilai dari betapa sabarnya anda mengalir menghadapi cobaan. Mengutip kata-kata dari mantan klub tim sebelah, yang jelas sudah sepatutnya kita benci, "only dead fish, go with the flow."




Tentunya saya tidak akan mengganggu gugat pendapat anda mengenai pandangan hidup. Apakah anda akan diam saja menunggu Sang Maha Kuasa bertindak atas apa yang telah perbuat, atau bertindak melawan. Saya bukan penganut paham atheisme atau meragukan kuasa-Nya tapi saya akan memilih pilihan yang kedua. Bagi saya, Sang Pencipta akan bertindak jika kita memang memperjuangkan apa yang kita ingin, dalam konteks ini tentu saja melindungi apa yang menjadi kebanggaan saya, selanjutnya biar Ia yang menentukan.

Jordan Henderson, dilain pihak adalah seseorang yang jarang keluar ke media karena kontroversi atau karena kehidupan glamornya. Ia lebih banyak muncul karena kemampuannya dalam bermain sepakbola, ambil contoh saat ia masih bermain untuk Sunderland. Ia mengenakan nomer 10 belum genap berumur 20 tahun dan ia dengan gagahnya mengobrak-abrik pertahanan Chelsea. Liverpool beruntung mendapatkan tanda tangannya awal musim lalu dan seperti layaknya seorang yang mempunyai image bawaan English sejati, ia didapatkan dengan mahar yang cukup lumayan menyayat hati, 16 juta Pounds.

Harganya nyaris menyaingi pemain favorit kita semua, Stewart Downing yang hanya 4 juta Pounds lebih mahal dari dirinya. Berumur 20 tahun saat baru dibeli dan yang ditawarkan oleh kapten England U-21 maupun U-23 ini lebih banyak hal negatifnya daripada positifnya.

Ia dengan bangga mengenakan nomer punggung 14 yang berarti akan menyinggung keberadaan sebagian besar supporter untuk membandingkannya dengan pemain yang membuat sulit move on, Xabi Alonso. Seperti enggan membiarkan Henderson sebuah ruang untuk menjadi dirinya sendiri, beberapa pundit jempolan dan para supporter lain mengaitkan harganya yang selangit dengan performanya, yang menurut saya juga, memang biasa-biasa saja.

Lalu apakah dengan itu ia tidak bisa sukses dan memang tidak memiliki fondasi untuk sukses? Dikaitkan dengan filosofi tak berdasar pada paragraf diatas, Henderson mempunyai 2 pilihan yang sama-sama bijak. Pasrah atau mencoba yang terbaik terlebih dahulu dan menyerahkan hasil akhirnya pada Tuhan.

Pemain ini menarik perhatian saya sejak awal ia bergabung. Jujur, kenapa saya tidak melanjutkan rangkaian kata saat ia di Sunderland meremukan Chelsea adalah karena saya memang tidak memperdulikannya saat bermain di tim lain. Henderson mempunyai kemampuan untuk sukses karena ia mempunyai first touch yang luar biasa baik sebagai modal utama pemain tengah, dan kerendahan hati untuk bermain out of position sekalipun tanpa mengeluh.

Ia mengingatkan saya kepada Lucas di awal-awal kedatangannya. Dan saya tidak ingin mengulangi kesalahan dengan ikut-ikutan mencaci Henderson, bagi yang melewatkan artikel saya sebelumnya bahwa saya menggambarkan Lucas seperti Si Itik Yang Buruk Rupa. 

Cacian ketidak puasan muncul karena ia tidak memenuhi ekspektasi musim lalu, dan sama sekali nyaris bermain tanpa rasa percaya diri. Kenny Dalglish dalam konteks ini gagal mengeluarkan potensi terbaiknya karena lebih sering menempatkannya sebagai sayap kanan tradisional untuk melepaskan crossing kepada pemilik kuncir Kuda paling subur di Inggris. Saat Lucas cedera panjang, menempatkannya sebagai pendamping Steven Gerrard dalam formasi 4-4-2 juga hampir bisa dibilang gagal karena ia bukan pemilik tekel yang menawan agar mengimbangi Gerrard yang khilaf terlalu sering meninggalkan posisinya sebagai gelandang tengah.




Pun dalam hal ini, anda sangat beruntung jika masih bisa memperhatikan bahwa ia sesungguhnya memiliki potensi. Tuhan bekerja dengan kuasanya melalui dewan direksi klub membuat Brendan Rodgers menggantikan Dalglish awal musim ini. Bagi anda yang percaya Henderson bisa sukses ini adalah titik awal, dan itu terjawab. Tidak secara langsung tapi melalui proses.

Kembali ke awal masa penutupan deadline day 31 Agustus tahun lalu, beberapa kabar yang menyebutkan dan layak untuk dipercayai bahwa Liverpool menginginkan Clint Dempsey dan itu tampaknya benar setelah Ian Ayre menunggu sebuah kabar baik yang tak kunjung ia dapatkan. Lampu kantor telah dimatikan, tidak ada kegiatan malam itu selain tatapan kosong Ayre kearah jendela menunggu seorang tambahan striker di squad Liverpool yang lebih kecil daripada lubang kunci pintu rumahnya.

Clint Dempsey namanya, seorang Amerika berposisi sebagai gelandang serang yang musim lalu di Fulham sukses mencetak 17 gol, lebih banyak dari Luis Suarez atau Andy Carroll yang lebih sibuk mengarahkan bola ke tiang gawang daripada ke jaring. Fulham menolak tawaran Liverpool yang rumornya kehabisan dana untuk memboyong orang ini, dan sebagai tambahan mahar Liverpool siap memberikan seorang pemain yang gagal menemukan kepercayaan dirinya. Dan tetap gagal, Dempsey memutuskan untuk pindah ke klub London lainnya, Henderson tetap memakai nomer 14.

Saya senang malam itu berakhir dengan kegagalan, mungkin berakibat fatal ke hari ini tapi dengan keyakinan menggebu membawa kepercayaan bahwa hari esok lebih baik menjadi fondasi untuk tetap mendukung Henderson.

Ke masa kini, kemarin Henderson adalah bintang. Ia berposisi berbeda dengan Alonso tapi ia sekilas membuat saya berfikir bahwa Alonso hidup dibagian buku yang sudah saya tutup untuk memulai bab baru untuk dibaca, faktanya yang bernomer 14 ini juga punya potensi yang mungkin bisa sama baiknya dengannya.

Bermain out of position sebagai winger kiri bohongan dengan ikut bermain di tengah, dengan ciri khasnya. Bukan hollywood passes seperti trade mark Steven Gerrard atau Alonso. Track back dan permainan simple passnya menawan. Mungkin Coutinho yang menawan lewat pisau yang ia bawa dikakinya, menyayat hati ribuan supporter Newcastle yang pulang duluan tak lagi sanggup menahan kepedihan. Tapi entah mengapa, 1 hal yang tak terlupakan adalah telur yang direbus ini masih setengah matang tapi sudah sangat menggiurkan. Dikatakan bopeng-bopeng berbentuk oval yang tak sempurna dan dibeli dengan harga yang terlalu mahal dipasar, mulai mencuri perhatian kita calon pemakan telur ini.




Kerendahan hatinya untuk turun menjadi bek kanan atau bermain di posisi manapun, atau mungkin jika anda ingat saat Brendan Rodgers dan nyaris seluruh tim menderita serangan virus saat melawat melawan Queen Park Rangers, Henderson tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membuktikan dirinya bahwa anda salah menilainya dengan wajah pucat pasi saat diganti adalah salah satu yang sudah semestinya anda beri apresiasi.

Beberapa orang diberi kesempatan untuk membuktikan diri, lewat kerja keras dan semangat pantang menyerah. Ketidak inginannya untuk bermain di Fulham tapi bermain untuk Liverpool walaupun dari bangku cadangan adalah bentuk sejati bagaimana seorang manusia sesungguhnya harus bereaksi terhadap nasib. Tapi bagi beberapa orang hilang seperti angin seperti Christian Poulsen atau Paul Konchesky yang memang tidak diinginkan tanpa kesempatan, yah.. Mungkin belum jodoh.

Henderson memang bukan Coutinho yang membawa bakatnya dalam satu koper saat pindah dari kota Milano, tapi siapa bilang Jordan Henderson biasa-biasa saja?

@MahendraSatya

5 comments:

  1. choki, tulisan lo KEREEEEEEEEEEEEEEN

    ReplyDelete
  2. Thats our Henderson!!!
    Tulisan ini juga ngegambarin Lucas :)
    Another ugly duck huh? :p

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Applause Standing For Hendoo :) (h)

    ReplyDelete
  5. hendo uyeeeeeee :)

    ReplyDelete