Sepak bola tak ubahnya dengan kehidupan. Ada satu masa dimana sebuah klub secara digdaya menguasai sebagian besar kompetisi yang ada. Ketika kata "jemawa" mudah muncul untuk sang penguasa. Saat posisi puncak menimbulkan egois berlebihan bagi yang merasakannya.
Inggris sempat memunculkan beberapa tim raksasa pada medio tertentu. Crystal Palace, Blackburn Rovers, Leeds United, hingga Aston Villa sempat merasakan indahnya titik tertinggi dalam dunia yang tak diciptakan Tuhan itu. Tetapi dimana mereka sekarang, inkonsistensi dan berbagai masalah yang notabene tak krusial membuat kekuasaan kembali jatuh.
Bukan pesimistis, tetapi Liverpool berada di Black Hole tersebut. Ya, The Reds memang masih terpandang dan berhasil terus bertahan di Premier League. Masih memiliki beberapa pemain bintang yang bergabung dan mengulang-ulang sejarah indah pada wawancara pertama mereka tentang klub.
Namun, kembali ke masa jaya tak semudah Pengusaha Qatar membeli pemain bintang. Liverpool yang dimiliki oleh pengusaha Amerika Serikat pencinta sistem Moneyball berupaya bangkit dengan cara tersendiri. Aturan Financial Fair Play yang mulai berjalan 2015 nanti, membuat The Reds ambil ancang-ancang lebih dulu.
Banyaknya pemain dari ranah Britania, pemain-pemain muda yang dipercaya bermain di tim utama, serta filosofi yang belum berjalan sempurna, membuat pandangan pencinta sepak bola kepada Liverpool menurun. Merseyside Red adalah tim Medioker, sebuah fakta menyakitkan yang tak bisa terelakkan.
Luis Suarez satu-satunya bintang milik Liverpool, besar kemungkinan meninggalkan Anfield musim panas ini, atau paling lama bertahan satu musim lagi. (Steven Gerrard adalah dewa di Liverpool, bukan bintang). Jika El Pistolero pergi, The Reds akan berubah menjadi tim muda yang mencoba berkembang sendiri. Ironis ketika kekuatan uang dimiliki sebagian besar klub top Eropa. Seperti David vs Goliath, hampir mustahil bangkit di era seperti ini.
Perkembangan The Reds berbanding lurus dengan stabilnya permainan inkonsisten mereka. Berhasil menjadi tim dengan rataan pemain muda terbanyak, memiliki striker yang nyaris menjadi topskorer, kapten yang tampil seperti masa keemasannya dengan banyak assist dan nyaris tampil terus tanpa absen sekalipun, serta tampil apiknya dua bintang muda anyar yang kemungkinan besar menjadi rekrutan terbaik di Inggris, tak membuat Liverpool menjadi tim terbaik.
Liverpool belum mampu menang atas tim-tim besar di tanahnya sendiri. Liverpool untuk kedua kalinya finis di bawah rival sekota yang notabene tak memiliki pemain bintang. Mental juara itu belum juga muncul. Tetapi sebagai fans, hanya bumerang jika berupaya untuk meninggalkan sesuatu yang diidolakan.
Menjadi tim medioker bukanlah masalah. Lihat mereka yang mendukung tim di bawah medioker, tim-tim divisi dua, tiga, hingga divisi terbawah, cinta itu menampik semua faktor teknis. Cinta itu menjadi dukungan tak ternilai yang bakal hadir setiap saat.
Medioker bukan sesuatu yang patut ditakutkan. Tak perlu malu untuk mendukung tim medioker. Menjadi medioker dengan sejarah indah sangat nikmat. Apalagi, pelangi tujuh warna sudah mulai terlihat pada masa depan Liverpool. Mereka para fans jelas akan menolak seandainya The Reds berubah menjadi Sugar Daddy Team.
Brendan Rodgers memberikan harapan. Sejak Januari, The Reds tampil sangat istimewa. Tak bertumpu dengan satu filosofi dan dapat beradaptasi dengan kapasitas lawan terlihat jelas. Liverpool sudah berada dalam jalur yang benar. Satu hal yang bisa menghancurkan mereka adalah diri mereka sendiri, atau keegoisan pemilik, sesuatu yang diharapkan tidak akan terjadi.
Berhasil mencetak 71 gol musim ini membuat mereka hanya kalah dari tim 4 besar, duo Manchester, Chelsea dan Arsenal. Tottenham Hotspur dan Everton, yang finis diperingkat 5-6 atau di atas The Reds, tak bisa mencetak gol sebanyak itu.
43 kebobolan yang diukir pun bukan menjadi hal buruk. Terlalu banyak hasil imbang (13 laga), terutama saat laga-laga yang seharusnya bisa dimenangkan, mungkin menjadi masalah. Tapi bukan masalah yang besar dan bisa diatasi musim depan.
Borussia Dortmund patut dicontoh. Mereka berhasil sukses tanpa mengandalkan uang. Malah uang tersebut yang bertubi-tubi datang karena kejelian manajemen di balik layar, serta kejeniusan Jurgen Klopp meramu filosofi di atas lapangan. Dortmund juara Bundesliga 1 dua kali berturut-turut 2010-11 dan 2011-12, pada tahun ketiga masa kepelatihan mantan pelatih Mainz 05 tersebut.
Mereka memang tidak memiliki skuad dalam, tetapi mengerti cara memanfaatkan kapasitas dan kesederhanaan. Target Die Borussen musim ini sudah jelas. Tampil kurang baik di Bundesliga 1 dan hanya menjadi runner-up, Dortmund berhasil menembus partai final Liga Champions dengan rekor tak terkalahkan.
Mereka menyadari sulit untuk mengangkat beberapa piala dalam satu musim, sehingga target utama diprioritaskan dan terbukti berhasil. Memiliki skuad inti yang berharga tidak sampai 40 juta euro, Dortmund menjadi tim yang patut ditiru Liverpool. Bangkit setelah nyaris dikubur kebangkrutan.
Smart Buying berhasil dilakukan Liverpool saat mendatangkan Philippe Coutinho dan Daniel Sturridge. Setidaknya hal itu membuat optimisme muncul pada bursa transfer musim panas ini. Tak perlu mengeluarkan dana besar untuk mecari pemain berbakat. Scout The Reds hanya perlu pintar dalam memilih pemain yang cocok dengan skema permainan.
Lebih baik menunggu momen indah dan menikmati status medioker ketimbang menjadi klub instan mudah juara kemudian dilupakan begitu saja. Liverpool memang sudah haus akan gelar, tetapi akan muncul momen dimana tim medioker ini akan kembali ke tempat asalnya. Waktu itu akan datang. Tempat dan Waktu yang tepat sedang menunggu Liverpool berjaya pada masa yang masih tanda tanya. We're support a Mediocre Team. so, What's the problem?
@FakeRegista
hope LiverpooL back to the BIG 4 and return the miracLe on istanbuL moment.... aamiin.
ReplyDelete#YNWA
why note? hahaaa.... keren nihhh
ReplyDeletecakep nih artikel nya...
ReplyDeleteCrystal Palace, Blackburn Rovers, Leeds United, juga Aston Villa ataupun Nottingham Forest hanya sekejap dua kejap merajai liga Inggris...jauh jika dibandingkan Liverpool, walau Villa & Forest pernah menjadi juara Champions. Saya yakin dalam satu dua tahun ini Liverpool akan kembali ke tempat dimana seharusnya mereka bertahta. Saya adalah a huge fan of Liverpool since 1978.
ReplyDeleteMenikmati status medioker? Menjadi tim medioker bukan masalah? Are you out of your mind? Gak 'Liverpool way' banget!! Mendukung dalam segala kondisi itu satu hal. Tapi menerima mediokritas itu hal lain. Menerima mediokritas membuat kita jalan di tempat, gak beranjak ke mana-mana, atau bahkan malah semakin terpuruk. The great Bill Shankly pernah mengatakan 'aim for the sky and you will reach the ceiling, aim for the ceiling and you will stay on the floor' serta 'if you are firsr, you are first. If you are second, you are nothing'. Itu sikap mental yang seharusnya, bukan sikap yang menerima mediokritas begitu saja. Silakan saja kalau anda memilih menikmati mediokritas, tapi saya menolak untuk itu!
ReplyDeleteBahasa inggrisnya salah tuh, masa "we're support"? Hehehe.
ReplyDeleteTapi overall cakep deh artikelnya.
yang terpenting bukan sejak kapan kita mendukung sebuah klub, tetapi sampai kapan kita mendukung klub tersebut! #LFC
ReplyDeleteYNWA....
ReplyDeleteItu di atas yg comment saya. Add twitter saya kalau mau diskusi. @awanfrima
ReplyDelete