Jadi, menurut apa yang saya baca dan simpulkan sejak pra musim dimulai hingga detik ini saya menulis, Liverpool telah melalui tujuh pertandingan dan hanya kalah satu kali melawan Celtic di Dublin, Liverpool mempunyai target yang musim lalu gagal dilakukan. Masuk ke zona Liga Champions.
Melupakan kepentingan bisnis, komersial dan revenue yang bisa dikeruk oleh para petinggi klub jika nanti Liverpool benar-benar masuk empat besar di akhir musim, menurut saya lebih baik membahas mampu atau tidaknya tim masuk ke zona tersebut.
Sudah berapa lama Anda menunggu bangun di tengah minggu hanya untuk begadang selama 90 menit lebih menonton Liverpool bertanding? Tidak terasa cukup lama, ya? Sudah beranjang empat tahun sejak kita disingkirkan oleh Fiorentina di penyisihan grup.
Well, jika Anda bertanya pada saya ketika beberapa tahun kebelakang mengenai seberapa pantas kah Liverpool masuk ke zona yang liganya di penuhi oleh bonus uang itu maka dengan pasti saya akan menjawab dengan keoptimisan tinggi: Pasti.
Tapi keinginan untuk lebih realistis semakin menjadi-jadi seiring seringnya optimis dan akhirnya berakhir dengan kesalahan.
Saya sama kurang beruntung dengan beberapa orang yang memilih pergi bersama pacarnya dan tidak menyaksikan laga pembuka Liverpool, malam minggu lalu, dan akhirnya menyesal. Tapi alasan saya bukan itu.
Terpujilah teknologi jaman sekarang yang memungkinkan saya seperti memutar kembali - setidaknya - momen-momen penting yang terjadi dalam pertandingan tersebut. Benar bahwa saya kehilangan banyak menit per menit laga namun tampaknya tidak sulit untuk mengatakan bahwa Simon Mignolet membuat saya semakin yakin bahwa lebih baik Pepe Reina melewati Merseyside saat kembali dari Naples dan langsung saja menuju Barcelona.
Kemenangan pertama di laga pertama sejak 2008, kemenangan lawan Stoke sejak zaman mereka memperkenalkan game play old school a la rugby-fooball ke Premier League yang nyaris punah.
Beberapa manajer dan orang percaya bahwa pertandingan pertama serta start awal musim adalah kunci untuk sebuah tim untuk finish di akhir musim. Saya pikir mereka berada di angan-angan seperti Liverpool yang meng-tweet klasemen sementara saat tim berada di puncak dan sisa tim lain sama sekali belum bertanding.
Akan banyak batu terjal yang menuntuk Liverpool untuk terus maju, mempertahankan mental dan memaksakan diri untuk tidak menjadi Liverpool yang beberapa tahun terakhir terkenal atas ketidak konsistenan.
Jika memperhatikan form dalam beberapa tahun terakhir, maka tidak lama setelah kemenangan ini, kita baru akan kembali menang dalam dua pertandingan lagi, maka, hingga pekan ke empat nanti laga kedua (vs Aston Villa) dan ketiga (vs Manchester United) akan berakhir dengan hasil jika bukan seri maka kalah.
Saingan terdekat Liverpool untuk berada di empat besar adalah sebuah tim mapan yang hidup untuk berkeliaran saja di top four - Arsenal. Dan sebuah klub super ambisius yang tidak membutuhkan scout untuk memantau pemain incaran, Tottenham. Dan jika saya boleh jujur maka hanya ada satu spot yaitu posisi empat di klasemen yang akan diperebutkan oleh Arsenal, Spurs, (iya saya sedang baik) Liverpool, (mungkin) Everton dan sebuah tim kejutan seperti Newcastle dua musim lalu.
Mari jangan membandingkan Liverpool dengan Chelsea atau Manchester City dan United. Chelsea dan City berkembang dengan luar biasa menjelma menjadi kekuatan baru karena kekuatan uang dan hanya menggunakan logika tanpa kenyataan yang terjadi di posisi liga musim lalu, kita bukanlah tandingan mereka. Kecuali, tiba-tiba jarum jam bergulir ke arah kiri. United bukanlah sebuah tim yang penuh dengan bintang, namun mereka adalah sekumpulan orang yang harus Anda akui mempunyai mental untuk menang - sesuatu yang tidak kita miliki dalam lima tahun terakhir.
Gagalnya Spurs ke Liga Champions akhir musim lalu sepertinya membuat Daniel Levy benar-benar mengamuk. Even, jika Anda berada di posisi netral maka akan dengan mudah menyebutkan bahwa mereka adalah salah satu kandidat terkuat untuk merebut tiket ke sana bulan Mei lalu.
Dan saya tidak terpikir sedikitpun bahwa, Iago Aspas yang membutuhkan empat peluang sebelum bisa mencetak gol, atau bintang Barcelona B Luis Alberto bisa bersinar seperti Xabi Alonso dan Luis Garcia pada musim pertamanya. Anda pasti dengan mudah menyangkal teori ini, tapi hal pasti dalam kategori materi milik Tottenham sudah membuat kita tercoret dari persaingan secara matematis.
Arsenal adalah tim yang malang, tidak perlu saya jelaskan. Tapi saya sedang membayangkan jika Arsenal, Liverpool, Tottenham, dan lainnya bermain Poker di satu meja judi. Yang saya bayangkan adalah mereka adalah bluffer besar, pembual yang seenak jidatnya menaruh taruhan dengan angka yang besar padahal hanya memegang sebuah Pair lima wajik. Dan anehnya mereka selalu berhasil untuk meraih tiket ke sana.
Brendan Rodgers pasti adalah seorang playboy di SMAnya dulu, jika Anda memperhatikan setiap interviewnya, maka Anda bisa menarik benang merah bahwa ia jago sekali menggombal. Caranya membuat hati terenyuh bahwa ia tidak memperdulikan kurangannya materi yang dimilikinya dengan menutupnya dengan kerja keras, sejauh ini, well, cukup terlihat. Apalagi dengan (yang selalu disebut-sebut) performa akhir musim lalu.
Tapi jika Liverpool mempunyai kecenderungan untuk tidak konsisten kenapa harus berharap banyak? Jika Liverpool mampu memutar balikan permainan dari yang super medioker di paruh pertama musim menjadi tidak medioker-medioker amat di paruh kedua, saya tidak berharap banyak Liverpool bisa hebat sepanjang 37 pertandingan sisa.
Pada akhirnya, perbaikan akan terlihat tapi belum saatnya untuk kembali ke zona Liga Champions. Jika saya mengatakan bahwa posisi empat terlalu jauh dari jangkauan, maka posisi lima adalah yang terbaik bisa kita harapkan.
Beberapa hal memang sangat ditunggu, tapi sesuatu yang benar-benar ditunggu lebih sering berakhir dengan kekecewaan karena tidak datang. Mungkin juga analogi ini bisa berlaku untuk begadang di dini hari Rabu dan Kamis.
Everything is worth a try, but are we good enough?
@MahendraSatya
siip...pemikiran2 anda cocok dengan saya
ReplyDelete