Tak ayal Simon Mignolet punya andil besar membawa the Reds terlihat perkasa musim ini tanpa bantuan viagra. Tanpa kemampuannya memblok bola yang mengarah ke gawang tim Merseyside itu sudah pasti tiga kemenangan beruntun di awal musim beserta clean sheet tak bisa diraih.
Yang saya coba tekankan adalah improvement yang terjadi setelahnya. Liverpool yang sebelumnya cuma 'hidup' di babak pertama kini terlihat sama berbahayanya di paruh kedua pertandingan. Tanpa andil pria yang menguasai lima bahasa ini di bawah mistar anak-anak Brendan Rodgers akan kehilangan banyak poin seperti yang sudah-sudah.
Tapi efek samping dari plan A Rodgers yang menuntut kesempurnaan perlahan-lahan mulai terlihat. Tanpa kehadiran Jamie Carragher yang suka berteriak memberikan komando, lini belakang Liverpool mulai terlihat limpung.
Sebutlah Daniel Agger yang musim ini menjadi wakil kapten tim dan juga kapten dari tim nasional Denmark mempunyai jiwa pemimpin, atau Kolo Toure yang di tim sebelumnya memang berperan sebagai kapten. Kehadiran mereka di lini belakang tak bisa menggantikan peran Carra.
Hasilnya buruk. Sungguh tak diduga jika masa sebelum pensiun, Carragher yang tak pernah menjadi salah satu bek tengah terbaik oleh para pundit, malah sangat berpengaruh besar ke Liverpool. Karena statistik tak bisa disangkal, maka bukti sahih dari borok lini belakang itu adalah jumlah error leading to shot or goal yang diraih tim berkostum merah-merah itu menjadi yang tertinggi di Premier League.
Media punya peranan memblow-up betapa buruknya performa lini belakang the Reds, tapi tanpa bantuan mereka pun dengan mata telanjang kita bisa melihat bawah ada borok di posisi yang kerap diotak-atik Rodgers itu dan gagal diselamatkan oleh Mignolet.
Sistem rotasi, absennya pemain-pemain belakang semacam Mamadou Sakho atau Jose Enrique atau performa buruk Glen Johnson dan Aly Cissokho yang cuma bagus dijadikan bahan lawakan kerap dijadikan alasan. Tapi sebetulnya jika kita membicarakan koordinasi maka ada hal yang lebih penting.
Kenyamanan adalah kata yang hilang dari lini belakang the Reds setelah pensiunnya mantan pengguna No.23 itu. Dan karena saya termasuk orang yang suka berprasangka baik, mungkin musim depan kenyamanan dan koordinasi yang muncul setelahnya bisa terlihat.
Kiper Liverpool sebelumnya bernama Pepe Reina, ia dipinjamkan Liverpool ke Napoli awal musim ini. Ia jelas tidak akan kembali karena hadirnya sosok bernama Xavi Valero dan Rafa Benitez di Naples. Tapi mungkin, sosok senior sepertinya di belakang adalah solusi dari pembenahan lini belakang.
Tidak, saya bukan merindukan blunder-blundernya - karena Iker Casillas dan Gigi Buffon pun tak bisa dipisahkan dari kata blunder, yang saya rindukan adalah kemampuannya berperan sebagai sweeper goalkeeper dan sosok seniornya sebagai kapten ketiga tim musim lalu.
Sebagai penganut filosofi penguasaan bola, Rodgers menuntut 11 pemain mampu memainkan bola di kakinya. Membangun serang dari lini terdalam. Yap, peran yang akan dijalani oleh Reina dengan baik.
Dalam keadaan normal, Rodgers akan dengan senang hati memilih tipe kiper seperti Reina yang nyaman memainkan bola di kakinya. Mungkin ada misi mengganti pemain yang berkepala tiga, bergaji tinggi dan suka blunder dengan yang lebih muda dan lebih murah, saya tidak tahu.
Biasanya, jika pemilik No.25 itu tak bermain maka kiper asal Australia yang akan bermain. Mantan kiper Middlesborough bernama Brad Jones. Tak teruji tapi terkadang cukup bagus dalam positioning, dan tampak kikuk seperti Penguin yang berjalan di darat jika lama-lama memegang bola. Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, Jones bukan tipe kiper yang cocok untuk dijadikan sweeper keeper ia bertipe shot stopper.
Nama Pepe Reina sudah menjadi masa lalu. Bahkan sekalipun Napoli enggan mempermanenkannya ia sudah dipastikan hengkang. Dan walaupun saya bukan penggemar beratnya, kurangnya kemampuan koordinasi sang kiper baru dari Belgia dan kikuknya ia dengan bola membuat kenyamanan itu hilang. Saya tak tahu dengan Anda, tapi melihat Mignolet mencoba mengumpan ke Skrtel atau Toure di depannya terlihat sangat mengerikan.
Coba lihat situasi di White Hart Lane beberapa waktu lalu. Kikuknya kiper berusia 25 tahun itu dengan bola berhasil diserobot oleh Roberto Soldado yang untungnya dianulir karena dianggap sudah melanggar terlebih dahulu, walaupun saya tidak tahu di mana elemen pelanggarannya.
Mignolet masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semua kekurangannya dengan semakin bertambahnya usia, pengalaman, serta seberapa lama ia bertahan di klub dan menjadi sosok senior; karena mengubah tipe permainan seorang pemain terlebih di posisi kiper sangat tidak mudah, dan seperti halnya memohon Jose Enrique diberhaki otak Fabio Aurelio - meminta kepada Tuhan agar Mignolet yang punya refleks jempolan khas seorang kiper tradisional diberkahi kaki selincah milik Reina tanpa proses terlebih dahulu kecil kemungkinannya.
Tapi jika tak buru-buru dibenahi, buat saya Simon Mignolet cuma versi upgrade yang lebih baik dari Brad Jones, seorang shot stopper handal tapi tidak dengan kakinya.
Ditulis oleh: @MahendraSatya
Semoga Simon cepat improve penampilannya. YNWA
ReplyDeleteBrad jones, lebih punya banyak pengalaman. Knp gk pernah di pake.? Maksimalkan kemampuan'a.! Siapa tau performa'a bisa jd lebih baik lg.
ReplyDelete