17 April 2014

Jangan, Jangan Bangun Dulu

“Ah, apa sih,” racaumu saat ibumu membangunkanmu untuk sarapan. Dirimu sedang tak ingin bangun. Kenapa ingin bangun jika tim merah kebanggaanmu sedang dalam perjalanan memenangi liga dengan Aly Cissokho beberapa kali mengisi posisi bek kiri? 



Ibumu mulai putus asa. Dia melengos ke luar kamar. Harusnya Ia maklum saja, tim merah kebanggaanmu yang selama setengah dekade terakhir berkutat di papan tengah liga domestik yang katanya terbaik itu sedang berleha-leha di puncak. Seperti orang-orang tua pecandu mimpi di film Inception, dirimu sudah mulai lupa mana yang disebut mimpi mana yang disebut tidak.
  
Di mimpimu yang sudah memasuki episode 34 itu, tim merah kebanggaanmu menyambut si biru dari Manchester –yang dalam beberapa tahun terakhir dicekoki uang minyak Syekh-syekh kelebihan uang. Tim merah kebanggaanmu sedang bertengger di puncak klasemen dengan tim biru Manchester yang masih harus memainkan 2 laga lebih banyak membayangi. Gugup, iya. Perutmu mulai terasa mual.

Adu taring episode ini ditunda selama 7 menit untuk menghormati korban tragedi Hillsborough 25 tahun silam. Peluit pertandingan dibunyikan dan tim merah kebanggaanmu langsung kesetanan. Dirimu muntah akibat kegugupan luar biasa. Menggelikan, padahal minum alkohol saja tidak. Coutinho, pemain bernomor 10 dari tim merah kebanggaanmu, bahkan berlari-lari walau tak sedang menguasai bola. “Apa-apaan nih!” katamu tak percaya sembari mengambil lap membersihkan muntahanmu.

Memasuki 5 menit pertama, perutmu kembali terasa mual. Sterling, pemain belia dari tim kebanggaanmu berlari membayangi kapten tim biru Manchester dan menyambut umpan terobosan dengan sangat, sangat baik. Perasaan mualmu sedikit bertambah. One-on-one dengan kiper tim biru Manchester, Sterling seharusnya langsung tembak saja bola ke gawang, tapi tidak! Seakan-akan mempermainkanmu dan organ pencernaanmu, Sterling membawa bola keluar masuk dengan kaki kanannya baru menembaknya ke gawang. “Tembak bolanya, biadab. Tembak, anjing. GOL!” racaumu sambil memukul apapun yang ada.

“…huek,” dirimu muntah untuk yang kedua kalinya. Dalam rentang waktu kurang dari 5 menit.

Cukup muntahnya, batinmu. Matamu kembali ke depan kotak berlayar di depanmu. Jordan Henderson berlari-lari seperti biasa, apakah ia mengaktifkan Nike+ di smartphone-nya, kau tak tahu. Luis Suarez menembakkan duri-duri beracun ke Martin Demichelis. Sterling setelah mencetak gol juga tak berhenti bermain-main dengan si lamban Demichelis. Yaya Toure dan Fernandinho, dua sumber utama tenaga tim biru Manchester, bahkan kelihatan tak bertaji. Semangatmu terpompa. Detak jantungmu semakin berpacu.

Gerrard, kapten tim merah kebanggaanmu, berada di posisi bebas dan menanduk bola dari sepakan pojok Coutinho, jantungmu berhenti sedetak, sayang, kiper tim biru Manchester mengarahkan bola ke luar gawang. Sepakan pojok di sisi lain. Giliran Gerrard untuk mengambil sepakan pojok. Gerrard mengirim sepakannya ke tiang dekat, Martin Skrtel menghadap bola, melompat, sedikit colekan dari kepala plontosnya, “GOL!” isi kepalamu menggila, semua yang di sekitarmu ikut menggila.

Kau mulai bermimpi dalam mimpi, seperti Inception saja, kau mulai bermimpi dalam mimpimu tim merah kebanggaanmu ini bisa saja merayakan sesuatu pada tanggal 11 Mei. Setelah berkali-kali menyangkal keyakinan memabukkan bahwa tim merah kebanggaanmu bisa saja merayakan sesuatu pada tanggal 11 Mei, kau akhirnya menyerah, kau mulai percaya.

Pertandingan sepertinya tidak melambat sedikitpun, kau larut dalam euforia, kau mulai menikmati, kau melupakan fakta bahwa kau sudah muntah 2 kali sebelumnya. Peluit tanda akhir babak pertama pun dibunyikan. Detak jantungmu melemah. Kau mencari defribilator. Dari mana defribilator? Entah. Ini ‘kan mimpimu.

Wasit membunyikan lagi peluitnya, kali ini untuk memulai babak kedua. Kau baru saja siap menyeduh mie instan untuk mengembalikan isi perut setelah dua kejadian sebelumnya. Kau siap untuk tes kesehatan jantung babak kedua.

Tapi, apa ini, katamu. David Silva bermain seperti kesetanan. Pemain-pemain tim merah kebanggaanmu juga seterkejut dirimu. Apa ini, katamu lagi tak percaya. Apa ini. Apa itu Glen Johnson tak bisa lari! Apa itu. Hah! Ketika kau berpikir kau tekanan pada babak kedua bisa lebih reda, ternyata tidak. Tim biru Manchester akhirnya mencetak gol pertama. Kau semakin tak percaya, tapi masih tetap percaya untuk menang.

Lalu kepercayaanmu pudar, Glen Johnson buat gol bunuh diri untuk tim biru Manchester menyamakan kedudukan. Hilang sudah keyakinanmu untuk lihat tim merah kebanggaanmu merayakan sesuatu yang meriah pada tanggal 11 Mei. Seharusnya aku tak perlu repot-repot bermimpi (dalam mimpi), katamu. Mana bisa tim seperti ini juara, batinmu. Tim ini bahkan memainkan Aly Cissokho beberapa kali, pikirmu. Kau memandang kotak berlayar itu tanpa ekspresi.

Kau ingin mematikan kotak bodoh itu sesaat sebelum sebuah lemparan ke dalam. Tunggu dulu, pikirmu. Masih ada sisa-sisa keyakinan dalam dirimu, rupanya. Lemparan dalam pun dilakukan. Lemparan itu dipotong oleh Martin Demichelis. Bola mengarah ke kapten tim biru Manchester, Vincent Kompany, yang tampaknya akan segera membuang bola jauh ke luar. Halah, tak ada harapan, batinmu, telunjukmu hanya beberapa milimeter saja dari tombol off remote control. Tapi, apa itu, bola sepakan Kompany malah ngawur. Bola ngawur itu tak punya arah. Ia tak tau ke mana. Tiba-tiba, entah dari mana, Coutinho, pemain nomor 10 tim merah kebanggaanmu, menerjang bola, mengarah ke sisi kiri kiper lawan, dan GOL! GOL! Kau lempar remote control bodoh itu. Kau teriak, tak peduli tetangga. Lagipula, ini mimpimu, apa itu tetangga. Kau belum pernah teriak sekuat itu sebelumnya.

Keyakinan 11 Mei itupun kembali membuncah. Mentalmu memang karbit. Mudah sekali dipermainkan. Kau menatap kotak berlayar bodoh itu penuh haru. Bahkan dalam mimpi pun ada sesuatu yang seperti mimpi. Ini, ini tim merah kebanggaanku, teriakmu jumawa. Di mana dirimu yang bilang tim ini tak layak juara, entahlah.

Wasit pun meniup peluit tanda akhir. Kau menghela napas lega. Kotak berlayar bodoh itu sedang menampilkan para pemain tim merah kebanggaanmu merayakan kemenangan itu. Kau pun ikut dalam euforia tersebut. Menyedihkan, bahkan tim merah kebanggaanmu belum memenangi apa-apa. Tapi, sekarang kau sangat yakin. Yakin bahwa pada 11 Mei, perayaannya akan lebih hebat dari ini. Jauh lebih hebat dari ini.

Yah, terserahmu. Hei, tapi ingat pesanku, lebih baik kau jangan bangun dulu.

Written by: @RezaPahlevi0503

14 comments:

  1. Merinding! Nice writing, and wake me up when Aly kisses the BPL trophy #YNWA

    ReplyDelete
  2. (h) (h) (h) (h) (h)

    ReplyDelete
  3. Make us dream. Dan kali ini ini bukan lagi Mimpi.
    #YNWA

    ReplyDelete
  4. Mantapppp! #makeusdream #ynwa

    ReplyDelete
  5. Oh my God !!! Gilaaa bikin merindiiing :) :) :)

    ReplyDelete
  6. Tim ini bahkan memainkan Aly Cissokho beberapa kali . sinting, hha

    ReplyDelete
  7. Lawak Lawak Tok, Hana Kusangka, iLon Jumawa That, Pajoh Bu le hai gam, Kamoe jak u teropi, kamoe pingen menang! Kah harus percaya kamoe, kamoe bakalan juara! #YNWA

    ReplyDelete
  8. AND NOW YOUR GONNA BELIEVE US! OH WE'RE GONNA WIN THE LEAGUE!!!

    ReplyDelete
  9. Merinding parah! Keep believing! #MakeUsDream

    ReplyDelete
  10. Aku terharu kaka, bung aly oh bung aly kau lah pahlawanku...mimpi lagi ah :p

    ReplyDelete
  11. A dreamy dream, let us enjoy it. But we'll surprise the whole world if someday that dream comes true

    ReplyDelete