“Ah, apa sih,” racaumu saat ibumu
membangunkanmu untuk sarapan. Dirimu sedang tak ingin bangun. Kenapa ingin
bangun jika tim merah kebanggaanmu sedang dalam perjalanan memenangi liga
dengan Aly Cissokho beberapa kali mengisi posisi bek kiri?
Ibumu mulai putus asa. Dia melengos ke luar kamar. Harusnya Ia maklum saja, tim merah kebanggaanmu yang selama setengah dekade terakhir berkutat di papan tengah liga domestik yang katanya terbaik itu sedang berleha-leha di puncak. Seperti orang-orang tua pecandu mimpi di film Inception, dirimu sudah mulai lupa mana yang disebut mimpi mana yang disebut tidak.
Di mimpimu yang sudah memasuki
episode 34 itu, tim merah kebanggaanmu menyambut si biru dari Manchester –yang
dalam beberapa tahun terakhir dicekoki uang minyak Syekh-syekh kelebihan uang.
Tim merah kebanggaanmu sedang bertengger di puncak klasemen dengan tim biru
Manchester yang masih harus memainkan 2 laga lebih banyak membayangi. Gugup,
iya. Perutmu mulai terasa mual.
Adu taring episode ini ditunda selama 7 menit
untuk menghormati korban tragedi Hillsborough 25 tahun silam. Peluit
pertandingan dibunyikan dan tim merah kebanggaanmu langsung kesetanan. Dirimu
muntah akibat kegugupan luar biasa. Menggelikan, padahal minum alkohol saja
tidak. Coutinho, pemain bernomor 10 dari tim merah kebanggaanmu, bahkan
berlari-lari walau tak sedang menguasai bola. “Apa-apaan nih!” katamu tak
percaya sembari mengambil lap membersihkan muntahanmu.
Memasuki 5 menit pertama, perutmu
kembali terasa mual. Sterling, pemain belia dari tim kebanggaanmu berlari
membayangi kapten tim biru Manchester dan menyambut umpan terobosan dengan
sangat, sangat baik. Perasaan mualmu sedikit bertambah. One-on-one dengan kiper
tim biru Manchester, Sterling seharusnya langsung tembak saja bola ke gawang, tapi
tidak! Seakan-akan mempermainkanmu dan organ pencernaanmu, Sterling membawa
bola keluar masuk dengan kaki kanannya baru menembaknya ke gawang. “Tembak
bolanya, biadab. Tembak, anjing. GOL!” racaumu sambil memukul apapun yang ada.
“…huek,” dirimu muntah untuk yang
kedua kalinya. Dalam rentang waktu kurang dari 5 menit.
Cukup muntahnya, batinmu. Matamu
kembali ke depan kotak berlayar di depanmu. Jordan Henderson berlari-lari
seperti biasa, apakah ia mengaktifkan Nike+ di smartphone-nya, kau tak tahu.
Luis Suarez menembakkan duri-duri beracun ke Martin Demichelis. Sterling
setelah mencetak gol juga tak berhenti bermain-main dengan si lamban
Demichelis. Yaya Toure dan Fernandinho, dua sumber utama tenaga tim biru
Manchester, bahkan kelihatan tak bertaji. Semangatmu terpompa. Detak jantungmu
semakin berpacu.
Gerrard, kapten tim merah
kebanggaanmu, berada di posisi bebas dan menanduk bola dari sepakan pojok
Coutinho, jantungmu berhenti sedetak, sayang, kiper tim biru Manchester mengarahkan
bola ke luar gawang. Sepakan pojok di sisi lain. Giliran Gerrard untuk
mengambil sepakan pojok. Gerrard mengirim sepakannya ke tiang dekat, Martin
Skrtel menghadap bola, melompat, sedikit colekan dari kepala plontosnya, “GOL!”
isi kepalamu menggila, semua yang di sekitarmu ikut menggila.
Kau mulai bermimpi dalam mimpi,
seperti Inception saja, kau mulai bermimpi dalam mimpimu tim merah kebanggaanmu
ini bisa saja merayakan sesuatu pada tanggal 11 Mei. Setelah berkali-kali
menyangkal keyakinan memabukkan bahwa tim merah kebanggaanmu bisa saja
merayakan sesuatu pada tanggal 11 Mei, kau akhirnya menyerah, kau mulai
percaya.
Pertandingan sepertinya tidak
melambat sedikitpun, kau larut dalam euforia, kau mulai menikmati, kau
melupakan fakta bahwa kau sudah muntah 2 kali sebelumnya. Peluit tanda akhir
babak pertama pun dibunyikan. Detak jantungmu melemah. Kau mencari
defribilator. Dari mana defribilator? Entah. Ini ‘kan mimpimu.
Wasit membunyikan lagi peluitnya,
kali ini untuk memulai babak kedua. Kau baru saja siap menyeduh mie instan untuk
mengembalikan isi perut setelah dua kejadian sebelumnya. Kau siap untuk tes
kesehatan jantung babak kedua.
Tapi, apa ini, katamu. David
Silva bermain seperti kesetanan. Pemain-pemain tim merah kebanggaanmu juga
seterkejut dirimu. Apa ini, katamu lagi tak percaya. Apa ini. Apa itu Glen
Johnson tak bisa lari! Apa itu. Hah! Ketika kau berpikir kau tekanan pada babak
kedua bisa lebih reda, ternyata tidak. Tim biru Manchester akhirnya mencetak
gol pertama. Kau semakin tak percaya, tapi masih tetap percaya untuk menang.
Lalu kepercayaanmu pudar, Glen
Johnson buat gol bunuh diri untuk tim biru Manchester menyamakan kedudukan.
Hilang sudah keyakinanmu untuk lihat tim merah kebanggaanmu merayakan sesuatu
yang meriah pada tanggal 11 Mei. Seharusnya aku tak perlu repot-repot bermimpi
(dalam mimpi), katamu. Mana bisa tim seperti ini juara, batinmu. Tim ini bahkan
memainkan Aly Cissokho beberapa kali, pikirmu. Kau memandang kotak berlayar itu
tanpa ekspresi.
Kau ingin mematikan kotak bodoh
itu sesaat sebelum sebuah lemparan ke dalam. Tunggu dulu, pikirmu. Masih ada
sisa-sisa keyakinan dalam dirimu, rupanya. Lemparan dalam pun dilakukan.
Lemparan itu dipotong oleh Martin Demichelis. Bola mengarah ke kapten tim biru
Manchester, Vincent Kompany, yang tampaknya akan segera membuang bola jauh ke
luar. Halah, tak ada harapan, batinmu, telunjukmu hanya beberapa milimeter saja
dari tombol off remote control. Tapi, apa itu, bola sepakan Kompany malah
ngawur. Bola ngawur itu tak punya arah. Ia tak tau ke mana. Tiba-tiba, entah dari
mana, Coutinho, pemain nomor 10 tim merah kebanggaanmu, menerjang bola,
mengarah ke sisi kiri kiper lawan, dan GOL! GOL! Kau lempar remote control
bodoh itu. Kau teriak, tak peduli tetangga. Lagipula, ini mimpimu, apa itu
tetangga. Kau belum pernah teriak sekuat itu sebelumnya.
Keyakinan
11 Mei itupun kembali membuncah. Mentalmu memang karbit. Mudah sekali
dipermainkan. Kau menatap kotak berlayar bodoh itu penuh haru. Bahkan dalam
mimpi pun ada sesuatu yang seperti mimpi. Ini, ini tim merah kebanggaanku,
teriakmu jumawa. Di mana dirimu yang bilang tim ini tak layak juara, entahlah.
Wasit
pun meniup peluit tanda akhir. Kau menghela napas lega. Kotak berlayar bodoh
itu sedang menampilkan para pemain tim merah kebanggaanmu merayakan kemenangan
itu. Kau pun ikut dalam euforia tersebut. Menyedihkan, bahkan tim merah
kebanggaanmu belum memenangi apa-apa. Tapi, sekarang kau sangat yakin. Yakin
bahwa pada 11 Mei, perayaannya akan lebih hebat dari ini. Jauh lebih hebat dari
ini.
Yah,
terserahmu. Hei, tapi ingat pesanku, lebih baik kau jangan bangun dulu.
Written by: @RezaPahlevi0503
Merinding! Nice writing, and wake me up when Aly kisses the BPL trophy #YNWA
ReplyDeleteBELI9EVE #YNWA
ReplyDelete(h) (h) (h) (h) (h)
ReplyDeleteMake us dream. Dan kali ini ini bukan lagi Mimpi.
ReplyDelete#YNWA
Mantapppp! #makeusdream #ynwa
ReplyDeleteOh my God !!! Gilaaa bikin merindiiing :) :) :)
ReplyDeleteTim ini bahkan memainkan Aly Cissokho beberapa kali . sinting, hha
ReplyDeletekereennnnn.... (h) (h) (h)
ReplyDeleteLawak Lawak Tok, Hana Kusangka, iLon Jumawa That, Pajoh Bu le hai gam, Kamoe jak u teropi, kamoe pingen menang! Kah harus percaya kamoe, kamoe bakalan juara! #YNWA
ReplyDeleteAND NOW YOUR GONNA BELIEVE US! OH WE'RE GONNA WIN THE LEAGUE!!!
ReplyDeleteMerinding parah! Keep believing! #MakeUsDream
ReplyDeleteSitmen gila ini sumpah
ReplyDeleteAku terharu kaka, bung aly oh bung aly kau lah pahlawanku...mimpi lagi ah :p
ReplyDeleteA dreamy dream, let us enjoy it. But we'll surprise the whole world if someday that dream comes true
ReplyDelete