Primeira Liga / Liga Zon Sagres, Estadio da Luz,
Lisbon, 25 August 2013
Sosok
anak muda yang gondrong namun tidak terlihat sangar karena postur tubuhnya yang
kecil dan kurus ini tidak sedikitpun terlihat gentar saat dimasukkan
menggantikan Eduardo Salvio, winger andalan Benfica pada menit 61. Sepuluh
menit kemudian, Maxi Pereira, bek kanan Uruguay dan Benfica melakukan blunder,
mungkin akibat kelelahan ataupun kehilangan fokus, dengan kesalahan mengontrol
bola yang dimanfaatkan dengan baik oleh Diogo Viana yang berlari dari belakang
untuk menyambar bola, seolah telah mengincar kesempatan ini, lalu menceploskan
bola ke gawang dengan kaki kirinya. Sepertinya ini akan menjadi debut yang
buruk bagi seorang anak muda yang baru masuk tersebut. 19 tahun, pertama
kalinya pergi merantau meninggalkan zona amannya menuju negara baru dengan
kultur, budaya dan gaya hidup yang berbeda. Menjalani debut dari bangku
cadangan mungkin adalah pilihan yang dirasa cukup aman bagi pelatih Benfica,
Jorge Jesus, untuk meringankan tekanan di bahu anak muda ini, walaupun
sebenarnya anak muda ini sudah tidak asing dengan peran yang biasa dilakoninya
dari bangku cadangan.
***
Tiga
tahun yang lalu, Benfica sebagai salah satu klub dengan permainan menyerang
yang paling menarik se-Eropa baru saja menjual pemain kuncinya Angel di Maria ke
Real Madrid senilai 40 juta Euro dan menggantinya dengan winger lainnya asal
Argentina juga, Nicola Gaitan. Pembelian tersebut kurang berjalan mulus,
sehingga winger lain pun kembali didatangkan dengan status pinjaman di paruh
musim bernama Eduardo Salvio dari Atletico Madrid. Walaupun permainan Benfica
membaik terutama terbantu akan meningkatnya performa kedua pemain sayap
tersebut, namun gelar juara liga masih menghindari mereka pada musim tersebut
dan musim depannya. Dua kali Runner-Up jelas membuat frustasi para fans. Peran
seorang Angel di Maria di sayap kiri dianggap masih belum bisa digantikan
sehingga mendesak manajemen Benfica untuk terus mencari pemain sayap yang
berbakat untuk mengisi peran tersebut.
Setahun
berlalu. Sementara Benfica masih menaruh harapan kepada Nicola Gaitan dan
mempermanenkan Eduardo Salvio yang dianggap telah matang karena sukses
menjalani musim pertamanya di Lisbon, Partizan Belgrade, klub tersukses
sepanjang masa di Serbia, mempromosikan remaja yang masih berusia 17 tahun
bernama Lazar Markovic untuk bergabung bersama tim utama dan bahkan
memberikannya tempat di bangku cadangan di laga tandang melawan Sloboda Uzice.
Pada tanggal 29 Mei 2011, dengan keunggulan 2-0 untuk Partizan Belgrade,
pelatih Partizan saat itu, Aleksandar Stanojević memberikan instruksi kepada
anak muda tersebut untuk masuk menggantikan Joseph Kizito pada menit ke-72.
Walaupun Sloboda Uzice berhasil mencetak gol penghibur di akhir pertandingan
(pertandingan berakhir 1-2 untuk kemenangan Partizan Belgrade) namun permainan
anak muda bernomor punggung 50 tersebut mengundang kekaguman dari supporter dan
rekan se-timnya. Tidak lama setelah Partizan Belgrade memenangkan Superliga
Serbia, Markovic pun menandatangani kontrak profesional pertamanya dengan
durasi 5 tahun sekaligus memberi semangat baru untuk menghadapi musim
berikutnya. Musim pertamanya sebagai pemain Partizan juga berbuah manis,
mencetak gol pertamanya bersama Partizan Belgrade, mempertahankan juara
Superliga Serbia, sekaligus meraih Partizan's Player of the Year serta iklusi
dalam 2011–12 SuperLiga Team of the Year selection. Pada musim berikutnya, dia
melangkah lebih jauh lagi, mempertahankan inklusinya di tim terbaik liga
(SuperLiga Team of the Year selection dua kali berturut-turut) sekaligus kembali
mempertahankan gelar juara liga. Panggilan timnas Serbia juga tinggal menunggu
waktu dan tidak tanggung-tanggung mencetak gol pada pertandingan keduanya saat
laga persahabatan melawan Chile, diperkuat oleh Alexis Sanchez di Estadio
Nacional de Chile yang berakhir 3-1 untuk kemenangan Serbia. Dan itu semua
diraih pada usia 18 tahun.
Scout-scout
dari klub Eropa terus berdatangan. Tentu saja hal ini sesuai dengan keinginan
Partizan yang memang memiliki policy membentuk pemain-pemain muda kemudian
menjualnya untuk profit klub. Sebagai salah satu remaja lulusan terbaik dari
Partizan Youth Academy (Berdasarkan statistik UEFA pada tahun 2012, Partizan
Youth Academy menempati posisi kedua dalam memproduksi pemain yang bermain di
31 liga-liga ternama di Eropa, di bawah Ajax Amsterdam, di atas La Masia
Barcelona dan Sporting Lisbon Youth Academy) bersama dengan nama-nama lainnya
seperti Adam Ljajic, Mateja Nastatic, dan Stevan Jovetic, tentunya menjadi
incaran klub-klub Eropa. Penawaran dari Spartak Moskow yang baru saja kehujanan
uang dari pemilik baru mereka saat itu ditolak mentah-mentah. Chelsea diyakini
menjadi klub terdepan yang berhasil mengamankan tanda tangannya, diperkuat
dengan keyakinan bahwa Lazza adalah penggemar Chelsea dan Gianfranco Zola, yang
tidak mengherankan karena masa kecilnya yang diisi dengan masa-masa emas
Gianfranco Zola di Chelsea (2002-2004).
Namun,
deal dengan Chelsea saat itu tidak terjadi. Artikel dari Chris Bascombe
menyatakan Lazar Markovic bahkan sudah menemui petinggi-petinggi Chelsea dan
berkunjung ke Stamford Bridge, London hingga duduk dinner bersama pemain-pemain
Chelsea kala itu. Tidak mengherankan karena saat itu agen dari Markovic
berafilisasi dengan Pini Zahavi, yang notabene adalah teman dekat Peter Kenyon,
mantan kepala eksekutif Chelsea. Ada kemungkinan Chelsea enggan melakukan
transfer dengan Pini Zahavi mengingat rekor buruk Pini Zahavi yang mana saat
itu sedang sibuk menangani kontroversi transfer Carlos Tevez dan Javier
Mascherano yang kepemilikannya diwakili olehnya.
Dalam
kerumitan dan ketidakjelasan transfer dan kepemilikan, akhirnya Partizan
Belgrade menyetujui transfer Markovic ke Benfica (fee undisclosed), dengan
kontrak lima tahun, mengikat Markovic hingga 2018. Keputusan yang sangat bijak,
mengingat pola permainan Benfica yang hidup dari sayap-sayapnya dan sangat
menyukai pemain muda dengan flair, teknik dan kecepatan yang bagus.
Kecepatan
memang merupakan atribut utama dalam karakter permainan Markovic. Hal yang
tidak mengherankan karena dia adalah lulusan sepakbola Partizan, yang mana
menjadi sejarah bahwa permainan sepakbola Balkan (khususnya Partizan) memiliki
karakter cepat namun sistematis. Selain itu, kecepatan memang mengalir dalam
darah keluarganya. Sang ayah, Negoslav Markovic terkenal sebagai pemain yang
cepat dan berteknik (Speedster) saat bermain sepakbola di Remont and Borac
Cacak, klub lokal amatir di Serbia. Bagaikan buah yang jatuh tidak jauh dari
pohonnya, bakat dan cara bermain sang ayah tidak jauh-jauh diturunkan ke kedua
anaknya, Filip dan Lazar yang setia menemani sang ayah berlatih. Dengan
kelebihan terutama dalam hal kecepatan, tidak mengherankan mereka berdua
ditempatkan di posisi sayap oleh pelatih Partizan di awal karir mereka.
Keputusannya
transfer ke Benfica juga tidak dinilai terburu-buru karena Markovic memang
ingin menyelesaikan pendidikannya di jenjang SMA, di Partizan High School of
Sport, terlebih dahulu. Edukasi memang adalah salah satu faktor utama dalam
karir Markovic. Latar belakang sang Ayah yang berprofesi di bidang teknik sipil
dan menjalankan perusahaannya sendiri dan sang Ibu yang merupakan seorang ahli
hukum, membuatnya tidak bisa melupakan pendidikannya. Peran keluarga juga
sangat berpengaruh dalam karir Markovic. Menjaga makanan dan minuman, istirahat
yang baik serta jauh dari pengaruh alkohol dan kehidupan malam adalah berkat
peran dari sang ibu yang sangat menjaga karir anak-anaknya. Ia juga dididik
untuk tetap rendah hati dan sederhana. Ia tidak secara buta memfollow fashion
(jelas tidak akan muncul gaya Blonde Markovic a la Dani Alves ataupun
tattoo-tattoo ala David Beckham sejauh ini) dan gaya hidup "wah" dan
metropolitan a la ibukota.
Bahkan
sebelum bisa mengendarai mobil, ia kerap menumpang Filip ataupun naik taksi
ataupun sarana transportasi publik lainnya. Somehow it is reminded me of Iker
Casillas in his early years.
***
Dua puluh menit kemudian. Waktu menunjukkan 90 menit, dengan tambahan waktu 4 menit. Estadio da Luz ricuh dengan keluhan dan seruan fans agar Jorge Jesus mundur. Para reporter mungkin sudah bersiap-siap mengisi match report mereka dengan tajuk "Benfica kalah (lagi!)" ataupun "Benfica Bersiap Untuk Treble Kekalahan Lagi" untuk sekedar mempermudah pekerjaan mereka dalam mengabarkan hasil pertandingan ataupun memberi tekanan ekstra kepada Jorge Jesus, manajer Benfica yang baru saja diperpanjang kontraknya selama dua tahun, di mana Benfica saat itu baru saja mengalami treble kegagalan yang cukup tragis (Kalah di liga dari FC Porto, tumbang di final Piala Portugal dari Vitória de Guimarães dan tentu saja kalah di final Europa League karena sihir Rafael Benitez yang membuat Chelsea bisa membuat Fernando Torres mencetak gol). Namun tidak demikian pemikiran kontingen Serbia di Benfica saat itu. Apapun script yang ditulis oleh Gil Vicente, para kontingen Serbia tersebut jelas tidak membacanya. Diawali dari umpan terobosan Filip Djuricic kepada Lazar Markovic, yang dengan pintarnya memposisikan diri diantara bek tengah dan bek kanan Gli Vicente, Halisson dan Gabriel Moura, lalu menyentuhnya sedikit sehingga bola berada di posisi yang tepat sebelum menceploskannya ke gawang dengan kaki kirinya. Semenit kemudian, Markovic telah meliuk melewati dua pemain Gil Vicente dari sisi kiri, memotong ke tengah (Number 10 Position) sebelum mengoper bola ke Ezequiel Garay di sayap kanan, yang diteruskan ke pemain Serbia, Miralem Sulejmani yang kemudian memberikan umpan silang yang disundul penyerang depan Benfica, Lima dan berbuah gol. Estadio da Luz pun pecah. Jorge Jesus pun turut merayakan gol tersebut bersama pemain, staff dan fans. Dan debut anak muda dari Serbia tersebut pun segera berubah menjadi debut impian.
Seusai pertandingan, Jorge Jesus memuji kiprah anak asuhnya, walaupun seharusnya dia juga layak mendapatkan pujian karena kontingen Serbia yang ia gunakan (Filip Djuricic, Miralem Sulejmani dan Lazar Markovic adalah trio Serbia yang dimasukkan Jorge Jesus di babak kedua pada pertandingan melawan Gil Vicente). "Menang pertandingan dengan karakter seperti ini jelas memberi kita keyakinan lebih daripada menang dengan skor telak." ujarnya. Dan hal itu memang benar adanya, walaupun kita akan mengetahuinya di akhir musim. Benfica melalui salah satu musim terbaiknya sepanjang sejarah klub. Treble domestik (Liga, Piala Liga / Taça da Liga dan Piala Portugal / Taça de Portugal di mana mereka tidak pernah kejebolan sekalipun di Piala Portugal), tidak pernah kalah di Europa League (walaupun mereka gagal di final dalam adu pinalti melawan Sevilla) dan unbeaten di Estadio da Luz.
Musim ini juga menjadi musim yang sangat baik bagi Lazar Markovic, yang pada usia 19 tahun telah merasakan treble dan bermain untuk klub terbaik di Portugal di musim pertamanya. Performanya mungkin setara dengan tamatan winger Benfica sebelumnya, Angel di Maria yang mencatatkan 40 penampilan dengan 7 gol (di mana Markovic hanya mencatatkan 49 kali tampil dengan 7 gol) namun jika ditanyakan dalam segi gelar, dan usia, Markovic jelas lebih unggul (Ia saat itu berusia 19 tahun dibandingkan dengan Di Maria yang saat itu berusia 21-22 tahun).
***
Dua puluh menit kemudian. Waktu menunjukkan 90 menit, dengan tambahan waktu 4 menit. Estadio da Luz ricuh dengan keluhan dan seruan fans agar Jorge Jesus mundur. Para reporter mungkin sudah bersiap-siap mengisi match report mereka dengan tajuk "Benfica kalah (lagi!)" ataupun "Benfica Bersiap Untuk Treble Kekalahan Lagi" untuk sekedar mempermudah pekerjaan mereka dalam mengabarkan hasil pertandingan ataupun memberi tekanan ekstra kepada Jorge Jesus, manajer Benfica yang baru saja diperpanjang kontraknya selama dua tahun, di mana Benfica saat itu baru saja mengalami treble kegagalan yang cukup tragis (Kalah di liga dari FC Porto, tumbang di final Piala Portugal dari Vitória de Guimarães dan tentu saja kalah di final Europa League karena sihir Rafael Benitez yang membuat Chelsea bisa membuat Fernando Torres mencetak gol). Namun tidak demikian pemikiran kontingen Serbia di Benfica saat itu. Apapun script yang ditulis oleh Gil Vicente, para kontingen Serbia tersebut jelas tidak membacanya. Diawali dari umpan terobosan Filip Djuricic kepada Lazar Markovic, yang dengan pintarnya memposisikan diri diantara bek tengah dan bek kanan Gli Vicente, Halisson dan Gabriel Moura, lalu menyentuhnya sedikit sehingga bola berada di posisi yang tepat sebelum menceploskannya ke gawang dengan kaki kirinya. Semenit kemudian, Markovic telah meliuk melewati dua pemain Gil Vicente dari sisi kiri, memotong ke tengah (Number 10 Position) sebelum mengoper bola ke Ezequiel Garay di sayap kanan, yang diteruskan ke pemain Serbia, Miralem Sulejmani yang kemudian memberikan umpan silang yang disundul penyerang depan Benfica, Lima dan berbuah gol. Estadio da Luz pun pecah. Jorge Jesus pun turut merayakan gol tersebut bersama pemain, staff dan fans. Dan debut anak muda dari Serbia tersebut pun segera berubah menjadi debut impian.
Seusai pertandingan, Jorge Jesus memuji kiprah anak asuhnya, walaupun seharusnya dia juga layak mendapatkan pujian karena kontingen Serbia yang ia gunakan (Filip Djuricic, Miralem Sulejmani dan Lazar Markovic adalah trio Serbia yang dimasukkan Jorge Jesus di babak kedua pada pertandingan melawan Gil Vicente). "Menang pertandingan dengan karakter seperti ini jelas memberi kita keyakinan lebih daripada menang dengan skor telak." ujarnya. Dan hal itu memang benar adanya, walaupun kita akan mengetahuinya di akhir musim. Benfica melalui salah satu musim terbaiknya sepanjang sejarah klub. Treble domestik (Liga, Piala Liga / Taça da Liga dan Piala Portugal / Taça de Portugal di mana mereka tidak pernah kejebolan sekalipun di Piala Portugal), tidak pernah kalah di Europa League (walaupun mereka gagal di final dalam adu pinalti melawan Sevilla) dan unbeaten di Estadio da Luz.
Musim ini juga menjadi musim yang sangat baik bagi Lazar Markovic, yang pada usia 19 tahun telah merasakan treble dan bermain untuk klub terbaik di Portugal di musim pertamanya. Performanya mungkin setara dengan tamatan winger Benfica sebelumnya, Angel di Maria yang mencatatkan 40 penampilan dengan 7 gol (di mana Markovic hanya mencatatkan 49 kali tampil dengan 7 gol) namun jika ditanyakan dalam segi gelar, dan usia, Markovic jelas lebih unggul (Ia saat itu berusia 19 tahun dibandingkan dengan Di Maria yang saat itu berusia 21-22 tahun).
---
20 Tahun, 20 Juta Poundsterling
Melwood, Liverpool, 15 July 2014
Setelah merampungkan penjualan Luis Suarez senilai 75 juta Poundsterling ke FC Barcelona, Brendan Rodgers tidak menunggu lama untuk mendapatkan dossier dari scouting department Liverpool di bawah kinerja Dave Fallows dan Barry Hunter mengenai target mereka yang sesuai dengan karakter permainan Liverpool. Tidaklah mengherankan sebagai mantan scout Manchester City, mereka mengusulkan nama winger Serbia ini ke dalam report mereka mengingat rekor keberhasilan mereka mendatangkan pemain Serbia seperti Stevan Jovetic dan Mateja Nastatic di Manchester City. Melalui negosiasi yang berkepanjangan, akhirnya Lazar Markovic resmi berkostum Liverpool, dengan nilai transfer mendekati 20 juta Poundsterling. Kemungkinan transfer sedikit memakan waktu lama karena kerumitan untuk menyelesaikan transfer dengan pihak ketiga di mana federasi sepakbola Inggris tidak mengizinkan adanya campur tangan pihak selain klub pemilik dalam hal kepemilikan pemain.
Transfer Lazar Markovic ke Liverpool sebenarnya sangat menarik karena seolah saling melengkapi satu sama lain, jika melihat permainan Liverpool di musim sebelumnya yang sangat menyerang, mengandalkan kecepatan dan pemain muda di bawah asuhan Brendan Rodgers. Sangat membuat penasaran bagaimana sepak terjang Lazza bersama Liverpool musim depan.
I don't know if he already suited in Brendan's system but I think he would. He is like Raheem Sterling with long hair. Perbandingan terhadap Lionel Messi juga muncul di beberapa artikel yang saya baca. Based from what I see, I think he is mentally right to play in Liverpool. Interestnya dalam bidang pendidikan terutama karena mata pelajaran favoritnya yaitu Sejarah dan Matematika juga bisa menjadi pendorong baginya untuk dekat dengan sejarah klub (banter!) ataupun dekat dengan Glen Johnson, yang mana sedang berusaha menyelesaikan mata kuliahnya dalam meraih gelar Sarjana Matematika. Gayanya yang kalem dan membumi juga dinilai cocok dengan suasana kota Liverpool yang bergaya countryside. Lihat saja saat dia menjalani medical untuk Liverpool di Melwood. Ransel, topi diputar ke belakang, smartphone di kaos kaki. No fuss. Just a simple 20 years old guy worth £20m.
See that humble lad doing medical at Melwood? (Image: LFC)
“As long as he wants to trains properly, he could be a world beater.” ujar Nemanja Matic, rekan timnasnya di Serbia. Apakah Lazza searing mempermalukan seniornya ini saat latihan? Apakah dia adalah sosok joker in the team? Who knows? Tapi melihat fakta bahwa Jorge Jesus kerap memasukkan nama Markovic ke starting line-upnya saat di Benfica, mungkin opini Nemanja Matic mungkin hanya inside joke belaka.
Tapi apapun yang dia lakukan di sesi latihan, dipastikan Rodgers akan membuat Markovic menggapai level yang lebih tinggi lagi. Saya juga yakin bahwa Rodgers dan para staffnya akan melatih kemampuan fisiknya seperti yang mereka lakukan pada Raheem Sterling, Phillipe Coutinho dan Joe Allen (Body-checknya terhadap Yaya Toure yang membuat Yaya terbang menyingkir tidak akan pernah saya lupakan) dan juga akan membuatnya menjadi world-beater dalam setahun-dua tahun mendatang.
Surely he's not this guy (Image: RAWK)
Artikel ini ditulis oleh: @Sa5678
Go Lazza!
ReplyDelete