25 September 2014

Right Man in The Right Time


Tak ada yang abadi di dunia. Manusia tak selalu berada di titik istimewa. Pun tak mungkin dibiarkan terus sengsara oleh sang pencipta. Selalu ada fase dimana kita sebagai manusia, beristirahat dari rutinitas dan mencari udara segar. Memaksakan kehendak dan melawan jalan Tuhan jelas bukan hal yang lumrah.

Steven Gerrard. Siapa yang tidak tahu dia. Sesosok legenda klub sekaligus legenda kota Liverpool. Lahir di Liverpool. Besar di Liverpool. Berada di klub sepak bola ini sejak berusia tujuh tahun. Kemudian berhasil menjadi andalan tim utama hingga akhirnya menjadi kapten. Mimpi yang menjadi kenyataan untuk bocah kelahiran Whiston, Merseyside tersebut.



Jika berbicara trofi, Gerrard telah mengangkat semua trofi pada level klub. Iya, iya, hanya tinggal trofi Premier League yang belum dia cicipi. Sebenarnya bisa saja dia meraih trofi tersebut lebih cepat jika mengikuti jejak Robin van Persie hingga Samir Nasri, tapi bukan Gerrard namanya jika memilih untuk pergi dari sesuatu yang paling dia cintai.

Loyalitas tanpa batas yang dimiliki sang pemain menjadi faktor utama. Pada akhirnya, Gerrard sudah tak memikirkan apakah dia mampu menyempurnakan kariernya dengan trofi Premier League atau tidak. Dia hanya ingin mengarungi samudera sepak bola bersama Liverpool yang dicintainya.

Namun, kembali ke masalah utama. Kapten Fantastik sudah 16 tahun berkiprah bersama The Reds. Umurnya pun sudah 34 tahun. Sudah tak ada lagi tembakan-tembakan jarak jauh keras nan akurat itu. Pun dia sudah tak mampu bermain di beberapa posisi dalam satu laga.

Sudah terlalu lama The Reds mengandalkan kemampuan sang pemain. Beban moral, mental, hingga teknis jelas ada di pundaknya. Jika bukan karena Brendan Rodgers, mungkin Gerrard tak akan bisa tampil luar biasa musim lalu. The Reds tak akan memakai formasi Diamond jika bukan demi Gerrard. Bermain luar biasa sebagai Deep Lying Playmaker dengan stats yang mentereng, ditambah menjadi eksekutor bola mati yang hebat, Gerrard selamat musim lalu.

Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Musim ini, Gerrard gagal memberikan performa yang baik dan menjadi salah satu masalah di skuat Liverpool. Sang pemain dirasa tak cukup baik dalam mengcover back four. Pun tak cukup istimewa dalam mengatur alur permainan. Dua tugas yang harusnya bisa dijalani dengan baik olehnya. Entah berapa kali sang kapten Out of Possession. Kalah sprint, hingga memaksakan Hollywood Pass.



Tanpa mengurangi rasa hormat kepada legenda, ini adalah waktu paling tepat bagi Rodgers mencari solusi pada skuatnya. Mencari Starting XI terbaik tanpa Gerrard didalamnya. Liverpool sendiri memang memiliki nama-nama yang dirasa mampu mengisi pos Gerrard atau mengubah formasi dan kembali mengandalkan double pivot jikalau sang ikon tak tampil.

Jordan Henderson dan Joe Allen bisa dibilang sebagai Box to Box terbaik The Reds saat ini. Gelandang bertahan? Lucas Leiva dan Emre Can bisa menjadi pilihan. Nama terakhir bahkan mampu bermain di semua posisi gelandang.

Secara teknik, keempat pemain di atas bisa dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan Gerrard. Tanpa memikirkan kondisi Allen dan Can yang masih terkapar cedera saat ini. Namun, tak ada yang secara kultural mampu menggantikan Gerrard pada empat pemain di atas. Sebelum akhirnya muncul sesosok harapan. Right Man in The Right Time.

Jordan Rossiter. Siapa dia? Jika Anda mengikuti Liverpool U-18 dan U-21 berkiprah, nama Rossiter sudah tak asing lagi. Sang pemain sudah berada di Liverpool sejak usia enam tahun. Pun berasal dari kota Liverpool sama dengan Gerrard.



Jika dilihat sekilas, Rossiter terlihat seperti bocah ingusan yang menunggu bocah-bocah nakal untuk membullynya. Tubuhnya kecil. Potongan rambutnya cepak. Wajahnya pun manis, sehingga jika dia berambut panjang, mungkin Anda akan mengiranya sebagai perempuan. Membandingkannya dengan Gerrard? Mungkin dia harus membesarkan badannya dulu jika ingin disandingkan dengan sang legenda.

But wait.... Kalian kenal Marco Verratti? Atau Mateo Kovacic? Dua gelandang yang namanya sedang melambung tinggi di dunia sepak bola modern. Tubuh mereka juga tak besar-besar amat bukan? Tetapi kinerjanya di lapangan sangat luar biasa. Rossiter memiliki kapasitas teknik itu. Ditambah darah lokalnya, Rossiter datang ke tim senior Liverpool di waktu yang sangat tepat.

Sang pemain biasa berduet dengan Jordan Lussey di Tim U-21 sebagai Double Pivot. Rossiter memang lebih defensif, tapi mampu mengatur alur permainan dan lini tengah. Karena itu, Rossiter rasanya sangat cocok jika dimainkan di pos Gerrard sebagai Deep Lying Playmaker, jikalau Liverpool bermain dengan formasi Diamond.

Tak hanya itu, bocah 17 tahun ini juga acap melakukan overlap jika dibutuhkan menjadi Box to Box. Ini terjadi jika dia berduet dengan Regista Muda berbakat The Reds lain, Pedro Chirivella. Itu yang membuat Rossiter bermain sangat nyaman bersama Lucas pada debutnya di tim senior melawan Middlesbrough.



Melihat performanya yang sangat pe-de dan tenang, Rodgers jelas harus mulai memikirkan Rossiter sebagai salah satu opsi pengisi pos lini tengah Liverpool. Sudah waktunya akamsi yang berpengalaman memberikan tempatnya sesaat untuk akamsi muda berbakat bukan?

Memang Rossiter masih 17 tahun dan memiliki banyak waktu untuk berkembang. Terburu-buru juga tak baik untuk perkembangannya. Itu yang sang pemain sadari. Dia mengerti bahwa usianya masih sangat muda dan berbahaya jika terperangkap kejemawaan.

"I know personally that this is just the start, I've got to keep my feet on the ground. The manager just told me that I had done well. I need to keep on improving and to stay in and around the first team, while improving for the U21s week in, week out. I'm still a long way away from being in the first team. I'm still only 17," Begitu ucap Rossiter.

Namun, tak ada yang salah terkait memercayai talenta muda di tim utama dengan cepat. Cesc Fabregas sudah menjadi langganan tim utama Arsenal sejak usia 17-18 tahun. Raheem Sterling pun demikian. Kondisi tim senior saat ini yang membuat Rossiter sangat masuk akal untuk menjadi bagian di dalamnya.

Semua putusan ada di tangan B-Rod. Apakah dia mau membawa The Reds ke level yang semestinya dan kembali ke perburuan gelar. Atau, bersikeras memainkan Gerrard tanpa memikirkan daya tahan sang pemain yang jelas tidak semaksimal dulu lagi.


Pada akhirnya, ini bukan masalah gelar apa yang diangkat Liverpool akhir musim, tetapi apakah The Reds mampu memertahankan identitas sebagai klub tradisional dengan kultur lokal yang dimiliki. Ini adalah waktunya perubahan. Jordan Rossiter is The Right Man in The Right Time.


Written By: @redzi_id

No comments:

Post a Comment