Tak ada yang abadi di dunia. Manusia tak selalu berada di
titik istimewa. Pun tak mungkin dibiarkan terus sengsara oleh sang pencipta.
Selalu ada fase dimana kita sebagai manusia, beristirahat dari rutinitas dan
mencari udara segar. Memaksakan kehendak dan melawan jalan Tuhan jelas bukan
hal yang lumrah.
Steven Gerrard. Siapa yang tidak tahu dia. Sesosok legenda
klub sekaligus legenda kota Liverpool. Lahir di Liverpool. Besar di Liverpool.
Berada di klub sepak bola ini sejak berusia tujuh tahun. Kemudian berhasil
menjadi andalan tim utama hingga akhirnya menjadi kapten. Mimpi yang menjadi
kenyataan untuk bocah kelahiran Whiston, Merseyside tersebut.
Jika berbicara trofi, Gerrard telah mengangkat semua trofi
pada level klub. Iya, iya, hanya tinggal trofi Premier League yang belum dia
cicipi. Sebenarnya bisa saja dia meraih trofi tersebut lebih cepat jika
mengikuti jejak Robin van Persie hingga Samir Nasri, tapi bukan Gerrard namanya
jika memilih untuk pergi dari sesuatu yang paling dia cintai.
Loyalitas tanpa batas yang dimiliki sang pemain menjadi
faktor utama. Pada akhirnya, Gerrard sudah tak memikirkan apakah dia mampu
menyempurnakan kariernya dengan trofi Premier League atau tidak. Dia hanya
ingin mengarungi samudera sepak bola bersama Liverpool yang dicintainya.
Namun, kembali ke masalah utama. Kapten Fantastik sudah 16
tahun berkiprah bersama The Reds. Umurnya pun sudah 34 tahun. Sudah tak ada
lagi tembakan-tembakan jarak jauh keras nan akurat itu. Pun dia sudah tak mampu
bermain di beberapa posisi dalam satu laga.
Sudah terlalu lama The Reds mengandalkan kemampuan sang
pemain. Beban moral, mental, hingga teknis jelas ada di pundaknya. Jika bukan
karena Brendan Rodgers, mungkin Gerrard tak akan bisa tampil luar biasa musim
lalu. The Reds tak akan memakai formasi Diamond jika bukan demi Gerrard.
Bermain luar biasa sebagai Deep Lying Playmaker dengan stats yang mentereng,
ditambah menjadi eksekutor bola mati yang hebat, Gerrard selamat musim lalu.
Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Musim ini, Gerrard
gagal memberikan performa yang baik dan menjadi salah satu masalah di skuat
Liverpool. Sang pemain dirasa tak cukup baik dalam mengcover back four. Pun tak cukup istimewa dalam
mengatur alur permainan. Dua tugas yang harusnya bisa dijalani dengan baik
olehnya. Entah berapa kali sang kapten Out
of Possession. Kalah sprint, hingga memaksakan Hollywood Pass.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada legenda, ini adalah
waktu paling tepat bagi Rodgers mencari solusi pada skuatnya. Mencari Starting
XI terbaik tanpa Gerrard didalamnya. Liverpool sendiri memang memiliki
nama-nama yang dirasa mampu mengisi pos Gerrard atau mengubah formasi dan
kembali mengandalkan double pivot jikalau sang ikon tak tampil.
Jordan Henderson dan Joe Allen bisa dibilang sebagai Box to
Box terbaik The Reds saat ini. Gelandang bertahan? Lucas Leiva dan Emre Can
bisa menjadi pilihan. Nama terakhir bahkan mampu bermain di semua posisi
gelandang.
Secara teknik, keempat pemain di atas bisa dimanfaatkan
untuk mengisi kekosongan Gerrard. Tanpa memikirkan kondisi Allen dan Can yang
masih terkapar cedera saat ini. Namun, tak ada yang secara kultural mampu
menggantikan Gerrard pada empat pemain di atas. Sebelum akhirnya muncul sesosok
harapan. Right Man in The Right Time.
Jordan Rossiter. Siapa dia? Jika Anda mengikuti Liverpool
U-18 dan U-21 berkiprah, nama Rossiter sudah tak asing lagi. Sang pemain sudah
berada di Liverpool sejak usia enam tahun. Pun berasal dari kota Liverpool sama
dengan Gerrard.
Jika dilihat sekilas, Rossiter terlihat seperti bocah
ingusan yang menunggu bocah-bocah nakal untuk membullynya. Tubuhnya kecil.
Potongan rambutnya cepak. Wajahnya pun manis, sehingga jika dia berambut
panjang, mungkin Anda akan mengiranya sebagai perempuan. Membandingkannya dengan
Gerrard? Mungkin dia harus membesarkan badannya dulu jika ingin disandingkan
dengan sang legenda.
But wait....
Kalian kenal Marco Verratti? Atau Mateo Kovacic? Dua gelandang yang namanya
sedang melambung tinggi di dunia sepak bola modern. Tubuh mereka juga tak
besar-besar amat bukan? Tetapi kinerjanya di lapangan sangat luar biasa.
Rossiter memiliki kapasitas teknik itu. Ditambah darah lokalnya, Rossiter
datang ke tim senior Liverpool di waktu yang sangat tepat.
Sang pemain biasa berduet dengan Jordan Lussey di Tim U-21
sebagai Double Pivot. Rossiter memang lebih defensif, tapi mampu mengatur alur
permainan dan lini tengah. Karena itu, Rossiter rasanya sangat cocok jika
dimainkan di pos Gerrard sebagai Deep Lying Playmaker, jikalau Liverpool
bermain dengan formasi Diamond.
Tak hanya itu, bocah 17 tahun ini juga acap melakukan
overlap jika dibutuhkan menjadi Box to Box. Ini terjadi jika dia berduet dengan
Regista Muda berbakat The Reds lain, Pedro Chirivella. Itu yang membuat
Rossiter bermain sangat nyaman bersama Lucas pada debutnya di tim senior
melawan Middlesbrough.
Melihat performanya yang sangat pe-de dan tenang, Rodgers
jelas harus mulai memikirkan Rossiter sebagai salah satu opsi pengisi pos lini
tengah Liverpool. Sudah waktunya akamsi yang berpengalaman memberikan tempatnya
sesaat untuk akamsi muda berbakat bukan?
Memang Rossiter masih 17 tahun dan memiliki banyak waktu
untuk berkembang. Terburu-buru juga tak baik untuk perkembangannya. Itu yang
sang pemain sadari. Dia mengerti bahwa usianya masih sangat muda dan berbahaya
jika terperangkap kejemawaan.
"I know
personally that this is just the start, I've got to keep my feet on the ground.
The manager just told me that I had done well. I need to keep on improving and
to stay in and around the first team, while improving for the U21s week in,
week out. I'm still a long way away from being in the first team. I'm still
only 17," Begitu ucap Rossiter.
Namun, tak ada yang salah terkait memercayai talenta muda di
tim utama dengan cepat. Cesc Fabregas sudah menjadi langganan tim utama Arsenal
sejak usia 17-18 tahun. Raheem Sterling pun demikian. Kondisi tim senior saat
ini yang membuat Rossiter sangat masuk akal untuk menjadi bagian di dalamnya.
Semua putusan ada di tangan B-Rod. Apakah dia mau membawa
The Reds ke level yang semestinya dan kembali ke perburuan gelar. Atau,
bersikeras memainkan Gerrard tanpa memikirkan daya tahan sang pemain yang jelas
tidak semaksimal dulu lagi.
Pada akhirnya, ini bukan masalah gelar apa yang diangkat
Liverpool akhir musim, tetapi apakah The Reds mampu memertahankan identitas
sebagai klub tradisional dengan kultur lokal yang dimiliki. Ini adalah waktunya
perubahan. Jordan Rossiter is The Right Man in The Right Time.
Written By: @redzi_id
Written By: @redzi_id
No comments:
Post a Comment