Umpan-umpan yang Membuat Torres Jatuh Cinta
Sebelum memuja Akira Toriyama sebagai seorang seniman secara kaffah, saya lebih dulu memuja Son Goku alias Kakarot sebagai seorang teladan. Saya dan teman-teman meneladani kamehameha-nya. Kami malas meneladani sikapnya. Sudah terlalu susah, membosankan pula. Kuririn masih lebih mudah dicontoh.
Membaca Dragon Ball adalah mengikuti kisah Son Goku. Sejak memancing ikan memakai buntutnya, menggendong tempurung kura-kura dalam bimbingan Kamesennin, sampai punya kekuatan meledakkan planet dengan mudah. Seolah-olah planet cuma balon acara ulang tahun.
Saya meyakini dengan hakiki bahwasannya Dragon Ball dicintai karena figur Son Goku. Kendati saya setuju dengan seseorang yang memilih Pikkoro sebagai karakter yang lebih menarik. Hal yang sama pun terjadi pada mereka yang mencintai One Piece karena Luffy, H2 karena Hiro Kunimi, atau Toriko karena... ya Toriko. Ada figur yang kita cintai sebelum memuja dan memuji karya si komikus secara kaffah. Atau si komikusnya sendiri. Juga secara kaffah.
Tidak ada yang salah. Sebab itu, ketika seorang teman bertanya, kalau nanti Fernando Torres pindah apa masih tetap mendukung Atletico Madrid? Pertanyaan itu terucap 2006 lalu. Javier Aguirre sang manajer, berharap si bocah Aguero bisa menemani sang pangeran Torres. Pertanyaan yang wajar karena teman saya mendukung Manchester United yang tak kentara kapan masa suramnya. Atletico? Mau main di Liga Champions saja susahnya bukan main.
Dia mendukung United karena Ryan Giggs. Selera klubnya memang arus utama, tapi memilih Giggs sebagai idola daripada Beckham? Respek buatnya. Atletico dengan Torres saja susah juara, apalagi tanpanya. Mau dukung tim yang nggak pernah juara?
Di sepakbola, Torres adalah cinta pertama saya. Mencintai Torres kemudian secara otomotasi membawa saya mencintai Atletico. Itulah cara termudah mendeteksi kadar cinta. Saya selalu mengagumi Javier Zanetti, tapi tidak pernah berlanjut mencintai Inter Milan. Sebelum Serie A redup, saya hampir selalu menonton Zanetti bermain. Saya menonton Zanetti, bukan Inter. Saya maunya lihat Zanetti main bagus, persetan dengan hasil Inter. Itulah mengapa Zanetti hanya selalu menjadi cinta monyet saya.
Cinta tak pernah punya formula. Datang begitu saja tanpa diminta. Saya mencintai Torres (sebagai pesepakbola tentu, saya bukan gay) begitu saja. Tanpa syarat, tanpa agunan.
Saya tahu saya mencintai Atletico. Jika bukan karena kepindahan Torres ke Liverpool, saya mungkin tak pernah tahu. Dua bola mata masih menyaksikan pertandingan mereka. Tapi tentunya aksi-aksi Torres masih tetap saya ikuti.
Kepergian Ariel Ibagaza pernah membuat saya geram. Kenapa klub melepas pelayan terbaik Torres? Harusnya mereka bisa menjadi duet yang lebih baik dari Ricky-Rexy. Tapi kemudian Tuhan menghadirkan sosok Steven Gerrard. Pria yang persis sama dengan Zanetti perihal kesetiaan dengan gaya rambut.
Tidak bisa tidak dan sulit ditolak untuk tidak menyukai pria asli Liverpool itu. Saya menyukai bagaimana dia membuat Torres menjadi penyerang yang membuat keder bek lawan. Saya menyukai bagaimana orang-orang selalu merinding saat klub mereka harus berhadapan dengan Pangeran Calderon, putra asli Atleti. Sungguh menyenangkan melihat Torres disegani di negara orang. Adakah yang lebih mengasyikkan daripada tahu fans lawan pipis di celana saat penyerang kita mengancam gawang mereka? Sensasinya sama seperti saat menemui panel berisi wajah Cell atau Frieza yang ketakutan.
Entah berapa kali sudah video umpan Gerrard ke Torres di pertandingan melawan Newcastle saya ulang. Pertanyaan yang sama berlaku untuk rekaman umpan tumit Torres ke Gerrard. Tidak normal. Torres seperti bisa membaca pikiran dan gerakan Gerrard. Vice versa.
Aguero-Forlan adalah duet terhebat sepanjang periode dukungan saya untuk Atleti. Dua gol Forlan di final Europa League 2010 adalah hasil umpan Aguero. Itu satu contoh saja. Tapi setiap kali melihat Gerrard bekerja sama dengan Torres, duet latin itu terkesan biasa-biasa saja.
Terserah saja Gerrard mau bilang Suarez adalah penyerang terhebat yang pernah bermain bersamanya. Saya berani digunduli, tidak ada yang mengerti umpan-umpan Gerrard lebih baik dari Torres. Dan silakan Torres bilang ia gembira memenangkan banyak trofi di Chelsea. Saya berani disunat lagi, tidak ada yang lebih menyenangkan dan memuaskan daripada masa-masa ia dimanjakan pelayanan kelas atas Gerrard di lapangan.
Galih dan Ratna. Gerrard dan Torres. Saya percaya keduanya saling mencintai. Sebagai rekan di lapangan.
Gerrard boleh tidak pernah menjuarai Liga Inggris, dan lucunya kasus serupa menimpa Torres di La Liga. Bahkan Gerrard setingkat di atas Torres dalam perkara kesetiaan. Torres pergi karena ia mencari gelar, memenuhi ambisi pribadi. Gerrard? Ia tetap tinggal meskipun nasib Liverpool sama tidak jelasnya dengan episode Spongebob belakangan ini.
Dan ketika akhirnya ia batal mengakhiri karir di Anfield, sepatutnya kita percaya kepergiannya sama seperti yang dilakukan Del Piero. Mereka memang pergi. Tapi hanya jejak-jejak pul sepatunya yang hilang. Namanya melegenda, kenangan terpelihara, dan rasa cinta tetap ada.
Written by : @ATM_GarisLunak
No comments:
Post a Comment