17 January 2016

Klopptimistis : Karena Juergen adalah kita


Klopptimistis: Karena Juergen adalah kita
               
                “You have to change, from doubter to believer”. Mulia benar tujuan Klopp. Dan tak kalah ajaib lagi, manusia yang mengamini ucapannya ini. Ucapannya jelas terasa seperti sebuah oase di tengah padang pasir. Ia membasahi keringnya pengharapan ini, dengan nada-nada yang meyakinkan dan penuh optimism.

Maka, tak sedikit kemudian orang yang terhipnotis dengan ucapan ini. Ia ingin membuat kita percaya bahwa kita bisa meraih tahun-tahun kegemilangan bersama. Ingin membuat kita percaya, bahwa tak ada apapun yang bisa digenggam. Dan ya, kopites menerima tawaran untuk berharap ini. Kata untuk menggambarkan sikap optimis kopites kemudian muncul: Klopptimistis.

                Maka, dengan kepercayaan , konon, Dejan Lovren, definisi komedi bagi penggemar Liverpool, mampu berubah wujud menjadi idola, dan bahkan meraih pemain terbaik edisi desember. Maka dengan kepercayaan pula, kita mampu melihat Firmino yang kocar-kacir di depan dengan permainan yang sedap dipandang mata. Maka dengan kepercayaan pula, kita mampu merasa hidup kembali, setelah sekian lama tertidur dan kehilangan selera sebagai seorang penggemar.

                Dan tak kalah membakar semangat, menyaksikan Klopp tentu juga hal yang seru. Di awal masanya, saya senang sekali menyaksikan seorang manajer sangat emosional seperti Juergen Klopp.

Tak jaim, macam manajer-manajer lainnya. Tak malu untuk memeluk dan melontarkan humor, di saat waktunya memang tepat. Tak sungkan untuk menyanjung penggemar, yang jelas, masih sangat asing di tanah Premier League ini. Membuat kita percaya, tahun-tahun penuh kejayaan akan datang bersamanya. Beserta dengan CV Juergen saat di Dortmund menjadi sebuah pengaminan.

                Namun, lambat laun, penasaran pula muncul. Mengapa ia seringkali tanpa sadar mengatakan f*cking berkali-kali di media Inggris. Mengapa sampai dicap James McClean [iya, James McClean] sebagai seorang yang agak idiot, mengapa ia selalu terlihat ingin memaksa timnya untuk memacu 200%, dan bukannya hanya sampai batas 100%.

                 Saya menyadari bahwa tak selamanya kepercayaan itu mampu dibayar. Kadang, kecewa malah yang jarang datang saat kita mulai percaya. Dalam kisah Klopp, menyaksikan timnya kalah, dan gagal memainkan heavy metal football adalah satunya. Menyaksikan Sturridge, dan pemain lainnya tak kunjung sembuh adalah hal lainnya. Dan menyaksikan bangku Anfield pelan-pelan kosong di menit-menit akhir adalah yang berikutnya.

                Juergen sangat mafhum bahwa timnya bukanlah tim yang benar-benar dia inginkan. Pemain warisan Brendan Rodgers tak terlihat haus akan kemenangan. Dan mengubah kebiasaan macam itu pula tak mudah. Konon katanya, latihan sangat keras, adalah hal yang dilakukan Juergen dalam upayanya mengoptimalkan tim yang ada. Belum lagi soal cidera.

                Dan masalah tak berhenti di situ. Ia datang di saat laga-laga yang minim jeda. Bayangkan, kemarin kita bertemu Arsenal, dan besoknya bertemu dengan Manchester United. Bayangkan saja, sejak kedatangannya hingga saat ini, ia telah menghadapi 21 laga dalam kurang lebih 100 hari lebih. Tak jarang, akibat pertandingan yang tanpa jeda ini, harmstring menjadi suatu kata yang tak ingin didengar oleh Juergen.

                Akan tetapi, dengan segala beban ini, Klopp selalu berusaha untuk tampak emosional dan optimis. Emosi yang ditunjukkan demi menjaga pemain optimis. Juergen, mungkin tak jarang terlihat seperti representatif pemain ke-12 bagi Liverpool: ia tak jarang tampak seperti fans yang hiperaktif.

                Dalam kaitannya sebagai seorang yang klopptimistis, tentu tak akan mudah. Terkadang, mimpi-mimpi yang ingin dipenuhi itu malah gagal dipenuhi. Dan tak jarang, kegagalan, kadang membisikkan nada-nada untuk menyerah, dan meminta kita untuk berhenti untuk melakukan itu semua. Dan itu semua wajar. Karena mengharapkan jalan kehidupan yang sangat mulus seumur hidup takkan mungkin rasanya, kecuali anda Dian Sastro.

                Jelas, semua butuh proses. Namun, adalah yang tak kalah penting dari proses tersebut adalah meyakininya. Sebagaimana hiperaktifnya Juergen meneriakkan pemainnya untuk tetap tampil optimal. Sebagaimana Juergen yang tak mampu menahan emosinya,saat Liverpool mencetak gol.


Juergen, jelas mengajak kita bersama untuk percaya. Karena Juergen, adalah diri kita, yang selama ini ragu untuk percaya. Dan Juergen, adalah diri kita, yang kini mengajak kita untuk percaya.


Written by : @utamaarif
Picture courtesy of  : lfcsorted.com  

No comments:

Post a Comment