Klopptimistis: Karena Juergen adalah kita
“You have to change, from doubter to
believer”. Mulia benar tujuan Klopp. Dan tak kalah ajaib lagi, manusia yang
mengamini ucapannya ini. Ucapannya jelas terasa seperti sebuah oase di tengah
padang pasir. Ia membasahi keringnya pengharapan ini, dengan nada-nada yang
meyakinkan dan penuh optimism.
Maka, tak sedikit kemudian orang
yang terhipnotis dengan ucapan ini. Ia ingin membuat kita percaya bahwa kita
bisa meraih tahun-tahun kegemilangan bersama. Ingin membuat kita percaya, bahwa
tak ada apapun yang bisa digenggam. Dan ya, kopites menerima tawaran untuk
berharap ini. Kata untuk menggambarkan sikap optimis kopites kemudian muncul:
Klopptimistis.
Maka, dengan
kepercayaan , konon, Dejan Lovren, definisi komedi bagi penggemar Liverpool,
mampu berubah wujud menjadi idola, dan bahkan meraih pemain terbaik edisi
desember. Maka dengan kepercayaan pula, kita mampu melihat Firmino yang
kocar-kacir di depan dengan permainan yang sedap dipandang mata. Maka dengan
kepercayaan pula, kita mampu merasa hidup kembali, setelah sekian lama tertidur
dan kehilangan selera sebagai seorang penggemar.
Dan tak
kalah membakar semangat, menyaksikan Klopp tentu juga hal yang seru. Di awal
masanya, saya senang sekali menyaksikan seorang manajer sangat emosional
seperti Juergen Klopp.
Tak jaim, macam manajer-manajer lainnya. Tak malu untuk memeluk dan
melontarkan humor, di saat waktunya memang tepat. Tak sungkan untuk menyanjung
penggemar, yang jelas, masih sangat asing di tanah Premier League ini. Membuat
kita percaya, tahun-tahun penuh kejayaan akan datang bersamanya. Beserta dengan
CV Juergen saat di Dortmund menjadi sebuah pengaminan.
Namun,
lambat laun, penasaran pula muncul. Mengapa ia seringkali tanpa sadar
mengatakan f*cking berkali-kali di
media Inggris. Mengapa sampai dicap James McClean [iya, James McClean] sebagai
seorang yang agak idiot, mengapa ia selalu terlihat ingin memaksa timnya untuk
memacu 200%, dan bukannya hanya sampai batas 100%.
Saya menyadari bahwa tak selamanya kepercayaan
itu mampu dibayar. Kadang, kecewa malah yang jarang datang saat kita mulai
percaya. Dalam kisah Klopp, menyaksikan timnya kalah, dan gagal memainkan heavy metal football adalah satunya. Menyaksikan
Sturridge, dan pemain lainnya tak kunjung sembuh adalah hal lainnya. Dan
menyaksikan bangku Anfield pelan-pelan kosong di menit-menit akhir adalah yang
berikutnya.
Juergen
sangat mafhum bahwa timnya bukanlah tim yang benar-benar dia inginkan. Pemain
warisan Brendan Rodgers tak terlihat haus akan kemenangan. Dan mengubah
kebiasaan macam itu pula tak mudah. Konon katanya, latihan sangat keras, adalah
hal yang dilakukan Juergen dalam upayanya mengoptimalkan tim yang ada. Belum
lagi soal cidera.
Dan
masalah tak berhenti di situ. Ia datang di saat laga-laga yang minim jeda.
Bayangkan, kemarin kita bertemu Arsenal, dan besoknya bertemu dengan Manchester
United. Bayangkan saja, sejak kedatangannya hingga saat ini, ia telah menghadapi
21 laga dalam kurang lebih 100 hari lebih. Tak jarang, akibat pertandingan yang
tanpa jeda ini, harmstring menjadi suatu kata yang tak ingin didengar oleh
Juergen.
Akan
tetapi, dengan segala beban ini, Klopp selalu berusaha untuk tampak emosional
dan optimis. Emosi yang ditunjukkan demi menjaga pemain optimis. Juergen,
mungkin tak jarang terlihat seperti representatif pemain ke-12 bagi Liverpool:
ia tak jarang tampak seperti fans yang hiperaktif.
Dalam
kaitannya sebagai seorang yang klopptimistis,
tentu tak akan mudah. Terkadang, mimpi-mimpi yang ingin dipenuhi itu malah
gagal dipenuhi. Dan tak jarang, kegagalan, kadang membisikkan nada-nada untuk
menyerah, dan meminta kita untuk berhenti untuk melakukan itu semua. Dan itu
semua wajar. Karena mengharapkan jalan kehidupan yang sangat mulus seumur hidup
takkan mungkin rasanya, kecuali anda Dian Sastro.
Jelas,
semua butuh proses. Namun, adalah yang tak kalah penting dari proses tersebut
adalah meyakininya. Sebagaimana hiperaktifnya Juergen meneriakkan pemainnya
untuk tetap tampil optimal. Sebagaimana Juergen yang tak mampu menahan
emosinya,saat Liverpool mencetak gol.
Juergen, jelas mengajak kita
bersama untuk percaya. Karena Juergen, adalah diri kita, yang selama ini ragu
untuk percaya. Dan Juergen, adalah diri kita, yang kini mengajak kita untuk
percaya.
Written by : @utamaarif
Picture courtesy of : lfcsorted.com
No comments:
Post a Comment