Jangan lengah, Mignolet!
Rocky Balboa: He's just another fighter!
Mickey: No he ain't just another fighter. This guy
is a wrecking machine and he's hungry! Hell, you ain't been hungry since you
won that belt!
Mickey,
sang mentor, guru, dan ayah bagi Rocky, jelas telah mengingatkan beliau tentang
kelemahannya. Di mata Mickey, jelas sudah terlihat bagaimana ia tampak telah
sangat berubah sejak kemenangan dramatisnya saat melawan Apollo Creed yang
penuh dengan semangat itu. Namun, apa lacur, peringatan Mickey tak diindahkan:
Rocky telah terbuai dengan kejayaannya sendiri.
Sayang seirbu kali sayang, musuh
yang dilawan jelas bukan yang ia selama ini duga. Clubber Lang, sang karakter
antagonis bagi Rocky, mampu mengalahkan Rocky dengan beberapa kali jab telak mengarah ke wajah. Tanpa daya,
Rocky menelan pukulan itu. Pukulan-pukulan dari lengan kirinya tak mampu
membuat ia unggul, sementara dirinya kian dibuat lebam oleh Clubber Lang.
Akhirnya, Clubber Lang tertawa merayakan kesombongan Rocky, sementara Rocky
hanya bisa mengadah ke atas, sembari memikirkan seberapa bodoh dirinya.
Alur
film Rocky III ini jelas membekas di benak saya. Mungkin agak sedikit sesal
muncul bagi saya, karena baru
menyaksikan film sebagus ini di tahun 2016. Akan tetapi, jelas kemudian saya
menyadari bahwa semua kenikmatan mampu menjadi bumerang bagi kita, terutama
saat kita kehilangan rasa lapar dan hasrat untuk selalu unggul itu sendrii.
Dalam kaitannya
dengan kisah Rocky tersebut, saya sendiri sedang menyaksikan hal yang sama
terjadi pada Simon Mignolet. Menyaksikan
Mignolet terkadang begitu menyebalkan. Dan yang tak kalah menyebalkan,
menyaksikan dirinya membela diri, dengan catatan statistik 16 kali cleansheet tahun lalu, ataupun
menyaksikan dirinya mengatakan we all do
mistakes, yang sempat mencuat di linimasa saya dari sebuah artikel yang
dikeluarkan oleh The guardian.
Jelas
kesombongan itu sedang menyelimutinya, dan tak ada yang lebih menyebalkan
daripada soerang yang sombong akan kelemahannya. Jika boleh dibilang, fase
pecundangnya Mignolet ini lebih parahlah dari Rocky.Rocky jelas dipecundangi
setelah meraih world heavyweight
champions, sedangkan Mignolet hanya bangga dengan posisi kiper utama saat
ini.
Maksud saya, ya, memang 16 kali
ia menjaga cleansheet, dan ia bangga
akan itu. Akan tetapi, bila boleh jujur, penampilannya jelas jauh dari
meyakinkan. Saya jelas kaget, saat menyimak sendiri catatan statistiknya
mengungguli kiper macam Cech ataupun De Gea, atau Courtouis, yang jelas rasanya
lebih wajar daripada Simon Mignolet.
Mignolet
jelas bukanlah lagi kiper yang tampak lapar. Ia bukanlah kiper yang seringkali
menyelamatkan muka Sunderland di musim 12/13. Ia bukan lagi kiper yang membuat
kopites terkagum akibat penyelamatannya di awal musim 13/14. Ia tak tampak
seperti kiper yang haus, karena memang tak ada lagi lawan yang harus ia
taklukkan.
Tak
jarang, saya terkadang merasa was-was karena memiliki kiper macam Simon
Mignolet. Dan tak lebih was-was lagi, menyaksikan persaingan kiper itu sendiri
hanya menyisakan dirinya dan Adam Bogdan, beserta Danny Ward sebagai cameo. Jika memainkan Bogdan, jelas
Mignolet merasa dirindukan. Dan memainkan Danny Ward? Meski ia merupakan salah
satu kiper terbaik SPL musim ini, namun nampaknya kesempatan itu pula takkan
buru-buru diberikan.
Dengan
segala keuntungan ini, wajar Simon Mignolet merasa terbuai. Dan wajar pula,
jika kemudian kita menyaksikan ia terbengap macam Rocky yang dihajar Clubber
Lang di Rocky III. Dan tenang, semua bisa lebih buruk. Simon Mignolet saat ini
bangga, bahwa ia sudah dihajar oleh striker
lawan, dan bangga melihat rasa frustasi kita. Dan dalam buaiannya ini, bukan
tak mungkin kesabaran Juergen Klopp habis, dan menggantikannya dengan kiper
lebih muda.
Ya,
kenikmatan memang membuai. Namun ia pula
akan menghancurkan. Maka dari itu, pesanku untuk Mignolet: jangan lengah. Sudah
itu saja. Salam.
Writtern by : @utamaarif
Picture courtesy of : Theguardian.com on article"Nobody's Perfect. We All Make Mistakes" by Daniel Taylor (15 January 2016)
No comments:
Post a Comment