18 March 2013

Lucas Leiva: Sebuah Proses Pembelajaran Hidup

Ada beberapa dari kita masih beruntung mendengarkan dan menyanyikan lagu masa kecil seperti "Balonku Ada 5" atau lagu-lagu Susan. Tidak ada yang berubah dari kebiasaan membaca komik tapi mungkin perubahan mendasarkan adalah dongeng adopsi berbentuk cerita rakyat yang sering didalamnya mengandung pembelajaran dalam mengarungi hidup yang kejam. Mari mengecilkan konteks ini kedalam sebuah cerita, kisah seekor anak itik yang buruk rupa.


Saya adalah penggemar film beralur pelan yang memaksa penontonnya untuk berfikir, sebutkan urutan seperti Memento, Inception, Shutter Island, Black Swan. Tapi tenang. Saya tidak akan membuat bingung anda dengan memasuki alam mimpi bertumpuk-tumpuk atau mempelajari keobsesian seseorang dalam kehidupan diatas panggung theater. Tapi cukup dengan membuat kilas balik ke arah masa kecil.

Alkisah, terlahirlah seekor itik berbulu hitam yang terlahir berbeda dari para saudaranya. Ia mempunyai beberapa saudara yang berbulu putih indah dan cantik seperti kebanyakan angsa yang lain, tapi ia terlahir berbeda. Induknya sendiri meng-anak tirikan dirinya karena mempunyai bulu hitam gelap, tidak satupun saudara atau bangsa angsa yang lain rela berteman dengan si itik berbulu hitam ini.

Kejadian spesies langka ini tidak sering terjadi di dunia Angsa kecuali terjadi rekayasa genetika atau kejadian albino pada beberapa kesempatan. Dalam sepakbola pun seperti itu.

Apa yang anda nikmati dari seorang Brazil? Terlebih dari seorang pemenang Placar, gelar pemain terbaik Brazil yang jg pernah dimenangi oleh pemain-pemain seperti Kaka, Romario dan Zico. Anda tentu akan dengan senang hati melihat pemain Brazil ini untuk mempertunjukan skill Joga Bonito, atau step over yang cepat melewati dan menembus pertahanan gerendel lawan. Siapa yang tidak mau melihat atau mendukung pemain dengan kemampuan seperti itu, terlebih di Liverpool FC?

Rafa Benitez membeli seorang pemuda berusia 20 tahun dari Gremio. Pemuda ini adalah pemenang Placar tahun 2007 hanya 2 tahun setelah debutnya sebagai pemain professional pemuda ini bernama Lucas Pezzini Leiva. Ia adalah seorang pemain Brazil bertipe langka, ia adalah si itik yang buruk rupa.

Saya akan membuka aib.

Pada awalnya tidak ada yang spesial dari pemuda Brazil berambut blonde gondrong ini. Tahun 2007 hingga 2009 ia tertutup bayang-bayang 2 pivot terbaik Liga Inggris yang pernah ada, Javier Mascherano dan Xabi Alonso. Hanya sesekali bermain menggantikan salah 1 dari 2 orang yang telah pergi dengan meninggalkan image berbeda ini, yang satu hina yang satu lagi dirindukan bak pahlawan.

Musibah datang saat Rafa mendengarkan bisikan Setan bahwa Gareth Barry lebih baik dari Xabi Alonso. Kejadian selanjutnya bisa anda tebak sendiri. Liverpool saat itu limbung bagai sebuah kapal pesiar mewah yang kehilangan layarnya. Xabi menawarkan sebuah orkestra mewah, ia mengirimkan umpan ke segala penjuru lapangan, ia memberi pemain sayap umpan diagonal for fun. Dan masalahnya, mungkin, saya berharap terlalu berlebih pada Lucas. Buang sajalah Lucas! Dasar si angsa yang buruk rupa!


Tidak ada masalah saat Lucas hendak dipaksa keluar ke Fiorentina pada masa awal pelatihan Roy Hodgson. 5 juta Pounds untuk pemain yang tidak berguna, tentu saja rugi bukan dikita.

Entah apa yang menyebabkan Lucas tetap ada di Liverpool saat itu. Jujur dengan datangnya seorang pengganti yang dibawa Roy Hodgson masa depannya sangat tidak jelas. Mungkin Hodgson akhirnya menyadari bahwa masalah tidak perlu dicari, masalah akan datang sendiri. Contoh paling konkrit adalah saat iya merasa tidak didukung oleh fans, contoh lainnya adalah ia membangun hubungan gelap dengan Sir Alex Ferguson, dan contoh paling nyata adalah menilai Christian Poulsen sebagai pemain yang bagus.

Karir Poulsen tidak menarik untuk dibahas selain fakta bahwa ia diludahi Francesco Totti. Ia yang dibeli dengan susah payah oleh Hodgson di Liverpool tidak lagi menarik dimatanya, sehingga nasibnya kini terdapar disalah 1 klub dimuka bumi ini yang bahkan saya malas untuk melakukan research. Siapa yang pantas diluhadi dalam konteks ini?

Lucas mulai menanjak setelah Mascherano memutuskan keluar dengan cara yang hina. Musim lalu saat ia keluar sebagai pembuat tackle successful tertinggi di Inggris walaupun setengah musim menghilang karena cedera ligamen. Siapa yang melupakan saat ia menjadi raja atas pemain-pemain mahal seperti David Silva, Kun Aguero, Yaya Toure. Saya tidak pernah menyangka harus sebegitu khawatirnya saat ia salah jatuh dengan posisi lutut seperti itu di Stamford Bridge dan kembali bangkit memaksa main walau akhirnya memang harus ditandu keluar. Saya tidak pernah menyangka si itik buruk rupa ini telah berubah menjadi angsa yang menawan.

Beberapa hari lalu saya membaca artikel Guardian yang memunculkan nama Nuri Sahin yang bahagia bisa terlepas dari Brendan Rodgers. Dalam hitungan beberapa jam muncul sebuah interview yang sangat emotional dari Lucas.

Tidak banyak yang menyadari hal ini, tapi saya membandingkan isi dari kedua pemain tersebut. Sahin mungkin diberkahi kemampuan passing diatas rata-rata. Tapi Lucas, ia menawarkan sebuah pembelajaran hidup, "saya punya pilihan untuk kembali ke Brazil, tapi saya menolak hal opsi itu." Sahin memutuskan menyerah saat Rodgers memainkannya sebagai attacking midfielder. Lucas bekerja keras agar bisa menjadi defensive midfielder walaupun posisi aslinya adalah attacking midfielder.

Ia menawarkan kerendahan hati, professionalitas tinggi, kerja keras, kemauan untuk berhasil dan mental yang kuat. Ia mampu memaksimalkan kepercayaan 1 orang, Rafa Benitez, walaupun disemua sisi menyalahkannya karena ia bukan Xabi Alonso ataupun Javier Mascherano.

Lucas adalah tipe pemain langka dimiliki Brazil, walaupun ia bukan yang terhebat dalam Joga Bonito, tapi tim Brazil terkuat sepanjang masa pun mempunyai seorang yang harus mau mengemban tugas kotor ini, sebut saja Dunga atau Gilberto Silva.

Lucas Leiva mempunyai mimpi untuk memenangi English Premier League bersama Liverpool dan mungkin ia juga ingin memenangi World Cup bersama Brazil. Ketika saat itu datang, saya tidak segan untuk kembali berdiri, bertepuk tangan seperti saat saya melihat ia ditandu keluar lapangan nyaris menangis di Stamford Bridge.

@MahendraSatya

2 comments: