25 March 2013

Seberapa Masokisnya Kita.

Everything I Do, I Do It For You adalah sebuah judul lagu yang melegenda didunia, anda tidak berada di planet Bumi jika anda tidak tahu lagu ini. Atau mungkin anda adalah alien yang lebih baik harus segera mencari tukang jahit terdekat untuk meminta dibuatkan sebuah jubah dan mulai berpikir memakai celana dalam diluar.



Lagu-lagu The Beatles termasuk salah satu dari sedikit lagu yang mampu melintasi zaman sama seperti pertanyaan klub sepakbola Merseyside yang mereka gemari? Apakah Everton atau Liverpool? Daripada kita berdebat panjang akan lebih baik jika kita memutuskan bahwa mereka tidak satupun yang menggemari sepakbola.

Saya dalam kesempatan Sabtu lalu sempat mengikuti acara REDUCATION yang diakan oleh beberapa akun independen, cukup menarik menyikapi kata-kata salah seorang pembicara acara tersebut, yang menyebutkan bahwa supporter sepakbola itu adalah yang terfanatik didunia dan punya kecenderungan masokis. Saya tidak tahu ada dilevel yang mana ke-masokis-an para Liverpool fans.

Seperti orang jatuh cinta, anda maju memperjuangkan perasaan, melakukan apa saja untuk seseorang yang beruntung tersebut. Anda akan men-support apapun yang mereka lakukan walaupun kondisi moody dan anomali dari pribadi yang anda sukai tersebut kadang membuat anda tersakiti. Anda akan kembali melakukan pendekatan lagi, anda akan dibawa terbang tinggi melalui kata-kata yang menurut anda manis, padahal menurutnya biasa saja.

Hal ini secara tidak langsung menyerang mental, baik anda sadari atau tidak. Tindakan ini tanpa disadari membentuk sebuah kebiasaan yang tidak bisa dihindari, anda ketagihan, Liverpool atau gadis/laki-laki yang anda gemari tidak bisa memenuhi asupan mental anda yang senantiasa ingin dipenuhi.

Bohong jika anda tidak tersakiti saat Liverpool kalah. Bohong jika anda tidak tersakiti saat orang yang anda sayangi kecewa, apalagi dikarenakan sikap anda. Jika anda tidak tersakiti maka secara otomatis itu bukan cinta. Siapa yang tega melihat Liverpool harus terdampar ditempat yang bukan semestinya? Kekalahan bisa menghampiri kapan saja, dan masalahnya anda akan tetap kembali mendukung, menyemangati walaupun dengan resiko untuk kembali kecewa.

Bagi saya, Liverpool adalah klub tradisional yang isi Anfield stadium dipenuhi 3 generasi. Seorang kakek berumur yang memerlukan bantuan untuk menuruni tangga, seorang ayah yang dengan sabar menuntun kakek tadi dan kemudian kita sebagai cucu dan anak dari keturunan keluarga pergenerasi. Seperti lagu yang kekal tak tertelan zaman, kecintaan terhadap Liverpool didengarkan melalui pendengaran melalui rasa, melalui kebiasaan. Lintas zaman dan generasi bukanlah hal yang mustahil walaupun memang banyak yang akhirnya salah jalan dan tidak bertaubat.

Tidak peduli dimanakah Liverpool sekarang seperti apa atau dulu seperti apa, kita sebagai sekumpulan penggemar yang jatuh cinta akan tetap pasrah tersakiti berkali-kali tapi tetap mengulangi kebiasaan. 
  
Pemain film dewasa bergenre masokispun tidak bisa menandingi betapa masokisnya penggemar Liverpool FC. Tapi tidak apa-apa, saya dengan senang hati akan datang kembali, saya sudah terlanjur jatuh cinta pada Liverpool FC.

@MahendraSatya

1 comment:

  1. Baru mulai baca seru"nya eh artikelnya udah selesai. Nanggung bos kurang panjang

    ReplyDelete