23 May 2014

Melawan Birokrasi Berbelit

Musim 2013/14 adalah musim yang indah untuk sebagian besar pendukung tim asal Merseyside; tak hanya untuk tim yang berseragam merah-merah, namun juga bagi pendukung tim berbalut warna biru.


Tanyakan pernyataan di atas kepada fans Liverpool maupun Everton, maka niscaya mereka tak akan membantahnya. Kendati kedua tim asal kota kota pelabuhan itu nir gelar di akhir musim, perjalanan dua tim itu menjanjikan suatu perjuangan yang lebih indah lagi musim depan.

Khusus fans the Reds, perbaikan mendalam mengenai pembenahan skuat yang kelewat tipis perlu dilakukan. Tak cukup hanya melakukan tambal sulam pemain yang hampir dipastikan kembali ke klub asalnya seperti pemain pinjaman Victor Moses yang kembali ke Chelsea maupun Aly Cissokho yang pulang ke Valencia.

Mengharapkan magis duet SAS sudah pasti akan dilakukan. Daniel Sturridge dan Luis Suarez tetap akan dijadikan ujung tombak berlapis emas, sedangkan Brendan Rodgers sebagai orang yang memainkan tombak itu sudah cukup menjanjikan. Namun, memperbaiki serta memperkuat badan tombak harus dilakukan.

Ekspektasi adalah kata yang akan tercantum di benak setiap pemain Liverpool musim depan. Tentu lebih mudah bermain sepak bola tanpa ekspektasi berlebih seperti musim ini. Tampil sebagai underdog - anak-anak Rodgers hanya dibebani kewajiban untuk masuk empat besar, alih-alih menjalankan peran sebagai salahsatu calon kuat peraih gelar Premier League layaknya yang mereka lakukan delapan bulan terakhir.

Tak ada yag memperhitungkan Liverpool yang finis di posisi tujuh musim sebelumnya melejit ke posisi dua musim ini dengan skuat tipis yang bahkan kalah mewah dibanding tim yang mengakhiri musim di posisi tujuh. Gairah besar untuk mengembalikan the Reds ke tempat mereka seharusnya berada adalah modal utama yang pada akhirnya bisa dimaksimalkan sepanjang musim, tapi dengan naiknya ekspektasi musim depan - gairah saja tak akan cukup.

Tantangan bagi manajemen Liverpool untuk menjawab tantangan tersebut. Memperkuat tim dan membangun skuat yang tak hanya dirancang untuk meraih empat besar tapi juga gelar juara merupakan hal mendasar yang wajib dilakukan. Jika, memang ada ambisi besar dalam manajemen.

Menurut rilis resmi dari Premier League mengenai pembagian TV rights beberapa hari lalu, Liverpool adalah tim yang memperoleh jumlah uang tersebar sebesar 99 juta pounds lebih. Tentu perolehan ini ditambahkan oleh angka yang didapat dari perburuan sponsor di bursa transfers musim dingin Januari silam. Lewat Garuda Indonesia, Vauxhall dan Dunkin' Donuts yang baru mengikat diri dengan tim dari Anfield, angka sensasional dari pembagian hak siar TV itu potensial bertambah besar.

Namun yang terjadi di Januari benar-benar anti klimaks. Tak kurang Mohamed Salah yang akhirnya pindah ke Chelsea dan Yevhen Konoplyanka dari Dnipro gagal diboyong ke Merseyside.

Agen Salah pernah berkata sebelum kliennya resmi pindah ke Chelsea bahwa negoisasi yang dilakukan oleh pihak Liverpool terlalu berlarut-larut dan memakan waktu nyaris selama dua bulan. Akhirnya pemain asal Mesir itu pindah ke klub rival di London dan sasaran berikutnya adalah pemain Ukraina Konoplyanka, tapi dengan tenggat waktu yang tak sampai dua pekan, dan kecenderuangan Ian Ayre sang negosiator untuk berhati-hati maka kegagalan transfer tak mendatangkan siapapun pada bursa transfer musim dingin itu sudah dapat ditebak.

Berbicara mengenai proses transfer milik Liverpool berarti kita berbicara mengenai sebuah proses birokrasi yang tak kalah rumit dengan birokrasi di Indonesia. Ada unsur politis dalam proses transfer tersebut yang hanya bisa diterka-terka kebenarannya.

Memang terasa mengada-ada, tapi jika Anda mengacu pada kebijakan transfer sejak Rodgers mengambil alih tim dari Kenny Dalglish maka terjalinlah sebuah garis lurus untuk dijadikan acuan.

Kedatangan Iago Aspas, Luis Alberto dan Simon Mignolet di awal musim sebenarnya cukup impresif. Ada keinginan untuk menambah kualitas tim meski tak semuanya berakhir dengan baik. Aspas dinyatakan gagal, Alberto adalah pemain untuk masa depan sedangkan kedatangan Mignolet (yang menurut saya bagus sebagai shot stopper bukan sebagai sweeper goalkeeper) mengandung pembahasan bahwa Pepe Reina memiliki gaji yang terlalu besar sehingga 'dialihkan' ke Napoli.

Proses transfer dalam diri Liverpool terbagi atas beberapa tahap. Sangat mendetail sehingga cukup mengebiri peran Rodgers sendiri sebagai juru taktik.

Hal ini wajar dilakukan mengingat apa yang terjadi beberapa tahun lalu saat Damien Comolli masih menjabat sebagai Direktur Sepak Bola. FSG sebagai pemilik enggan menggelontorkan Dollar mereka jika yang diraih pada ujungnya transfer tersebut gagal. Oleh sebab itu, pengencangan sabuk serta mengembangkan dewan transfer dibuat oleh mereka dalam struktur.

Barry Hunter dan Dave Fallows adalah dua orang yang paling mempunyai peran dalam dewan transfer itu. Rodgers terlibat, tapi menurut hemat saya ia hanya akan memberikan detail-detail pemain seperti apa yang ia butuhkan; bukan menyebutkan secara spesifik nama pemain yang ia butuhkan. Lalu lewat pertimbangan dewan transfer mereka akan menggodok nama-nama paling relevan untuk mengisi kebutuhan strategi Rodgers. Sebelum akhirnya dewan transfer mengajukan nama ke Ian Ayre yang akan mengurus negoisasi transfer hingga kontrak sang pemain - tentunya dengan kehati-hatinya.

Ambil contoh Oussama Assaidi. Pasti Anda bertanya untuk apa membeli Assaidi jika akhirnya mendapat kesempatan untuk bermain pun sangat terbatas? Atau marquee singing di musim panas dalam diri Mamadou Sakho.

Sakho adalah pemain muda berpengaruh di Paris St Germain. Di usianya yang masih sangat muda ia menjabat sebagai kapten tim metropolis itu, tentu pembeliannya harus dibarengi dengan pujian pada dewan transfer. Rodgers saya rasa mengerti akan kebutuhan kualitas di lini belakang setelah performa Martin Skrtel merosot tajam musim lalu. Tapi benarkah Sakho orang yang diinginkan Rodgers? Belum tentu, mengapa demikian? Bukti bahwa di saat pertahanan yang selalu dirotasi itu tak pernah memunculkan duet Agger-Sakho sebagai bek tengah merupakan fakta yang memunculkan pertanyaan. Benarkah Sakho orang yang diinginkan Rodgers? Jika perpaduan bek tengah kidal-kidal rawan dimainkan, lalu mengapa membeli bek berkaki kidal?

Pembelian pemain dengan kualitas seperti Aspas sudah pasti bisa diminimalisir karena Liverpool masuk ke Liga Champions musim depan yang berarti memungkinkan pemain bintang tertarik merumput di Anfield. Tapi yang tak kalah penting adalah pemain yang nantinya akan didatangkan haruslah pemain yang diinginkan Rodgers secara spesifik.

Hal ini adalah tantangan besar untuk manajemen agar mengambil resiko yang lebih besar untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada manajer yang membawa segenap suporter Liverpool bermimpi indah musim ini dan mengurangi proses birokrasi berbelit tersebut. Karena semua semata-mata untuk masa depan yang lebih baik.

Bukan begitu?

Ditulis oleh: @MahendraSatya

No comments:

Post a Comment