Plaak!! seorang
ibu menampar muka anaknya yang akhirnya terbangun dari tidur. Bukan, tamparan
bukan tindak kekerasan. Sang ibu hanya berang melihat anak lelakinya sangat
gemar tidur dalam satu tahun terakhir. Karena pekerjaan sang anak berbeda
dengan pekerja pada umumnya, yang harus memiliki aturan masuk pagi pulang sore
atau malam, maka anak lelaki bandel ini kerjanya hanya makan tidur makan tidur,
kemudian baru menikmati hidup ketika matahari terbenam dan langit menunjukkan
keindahan bulan.
Plaak!! Tamparan
kedua akhirnya membangunkan sang anak. "Kamu tuh yaa, kerjanya pulang
larut terus semalaman. Hidup bukan sekadar Bali Hai nak. Makan sana," omel
sang ibu. Si anak pun dengan setengah sadar dan emosi yang tertahan, mencoba
bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Terhuyung dia menuju kamar mandi untuk
sedikit memainkan penis demi keluarnya sisa-sisa alkohol berupa pipis. Kemudian
dia basuh muka dengan air jernih dari keran wastafel. Pyaar, Pyaar, Pyaar!
Seiring dengan air yang membuat mukanya segar, hatinya
langsung terpatri kepada satu hal. Satu hal menyesakkan yang membuatnya terperangah
kepada burung-burung peliharaannya. Kakinya mendadak berat. Dia terjatuh dengan
keras ke sofa ruang bawah. Otaknya memikirkan semua momen di malam sebelumnya.
Sebuah momen menyakitkan laiknya sebuah tamparan dari Tangan Budha Stephen Chow
di Kungfu Hustle.
Liverpool. Liverpool. Liverpool. Adalah alasan utama anak
ini mengalami frustrasi yang teramat sangat pagi itu. Sebagai fans sejati The
Reds, dia belum bisa menerima kenyataan bahwa tim idolanya gagal juara. Gagal
setelah mengalami musim terbaik selama 10 tahun terakhir. Perasaan Don, nama
sang anak, campur aduk. Melewati laga terakhir dengan kemenangan dramatis
karena comeback, tapi gagal juara akibat kemenangan Manchester City atas West
Ham United, hatinya terbelah dua. Logikanya jalan dengan teratur, tapi
kekecewaan tak bisa ditutupi. The Reds, tim kesayangan Don, harus kembali gagal
meraih trofi Premier League.
Pagi itu menjadi pagi yang amat panjang bagi Don. Pikirannya
ngalor ngidul mencoba meratapi, menganalisa, hingga mencari-cari alasan yang
tepat mengapa Liverpool kembali harus menunggu. Menunggu meraih satu trofi itu.
Membuka timeline twitter dirasa bisa membantu. Tetapi apa, yang ada adalah
hiburan-hiburan penuh ilusi. Pujian-pujian yang menyerupai topeng badut yang
menakutkan.
Ya, target Liverpool awal musim adalah finis di peringkat
empat yang berarti lolos Liga Champions. Dan finis di peringkat dua adalah
prestasi yang jelas membanggakan. Luis Suarez menjadi PFA Player of The Year, Premier League Player of The Year, Top Skorer,
dan FWA Footballer of the Year. Steven Gerrard kembali ke permainan puncak
dan menjadi raja assist di Premier League dengan 13 assist. Brendan Rodgers
melengkapi prestasi setelah terpilih sebagai Manajer terbaik versi LMA. The
Reds pun mampu mencetak 101 gol musim ini. Permainan atraktif pasukan Brendan
Rodgers, seyogyanya membuat bangga para suporter. Ya, kami bangga, tetapi rasa
kecewa itu masih sangat terasa.
Pikiran Don terus berputar. Dia mencoba menjadi sosok yang
bijak dan bersyukur atas prestasi tim kesayangannya. Tapi, hati tak bisa
bohong. Pagi itu, dia terbayang-bayang tekel keras Jordan Henderson ke kaki
Samir Nasri. Kemudian, muncul bayang-bayang Steven Gerrard yang terpeleset di
rumput yang menemaninya sepanjang karier. Lalu muncul Hantu Istanbul yang
berwujud Selhurst Park.
Plaak!! Plaak!!
Plaak!! Don kali ini menampar-nampar diri sendiri. Tamparan yang membuat
kedua pipinya memerah semirip Sir Alex Ferguson saat tahu Manchester United
finis peringkat tujuh. Entah masih setengah mabuk, atau merasakan sisa pusing,
Don belum bisa move-on. Hari senin itu bisa dibilang sebagai Senin terburuknya
di tahun 2014. Ditambah cuaca mendung yang membuat suasana rumah semakin kelam.
Mencoba mencari kegiatan, Don membuka video para pemain
Liverpool saat melakukan Lap Of Honour setelah laga terakhir melawan Newcastle.
Alih-alih mendapat hiburan dengan melihat para pemain bersama keluarganya
berterima kasih pada fans dan saling berfoto, air mata malah mengalir dari mata
Don. Bukan, bukan karena Aly Cissokho yang meminta Gerrard berfoto bersama atau
Martin Skrtel yang melempar sang anak seenaknya. Pun Brendan Rodgers yang
melempar bola persis ke muka anak perempuan Glen Johnson.
Tetapi ketika melihat ekspresi Steven Gerrard saat itu. Tak
ada senyum tulus. Tak ada kebahagiaan. Sorot matanya seperti orang yang yang
berada di tengah padang gersang. Applausenya ke penonton seperti permintaan
maaf tanpa suara. Gerrard tak bisa bohong. Hati berbicara lewat mata. Berbeda
dengan Rodgers. Sang manajer memberikan penghormatan kepada seluruh fans sambil
berkali-kali menepuk dada. B-Rod seperti berkata "Ini hanya sebuah awal
dari pelbagai kebanggaan yang akan datang dalam beberapa tahun ke depan".
Dua orang ini membuat Don menangis di pagi yang akhirnya hujan. Semesta
mendukung. Ya, semesta merasakan sakit yang sama dan belum mengizinkan
Liverpool juara. Pahit.
Tak berhenti disitu, Don juga mendengar wawancara Claire
Rourke bersama Daniel Sturridge. Stu adalah sosok yang membuat pernyataan
paling jujur. Dia mengatakan sangat kecewa karena gagal membawa Liverpool
juara. Pada semua olahraga, juara dua tak pernah dilirik. Sturridge tidak
mencoba menghibur fans, tetapi dia mengatakan segala yang dirasakan dengan
objektif. Permintaan maaf pun diutarakan Stu kepada seluruh fans. Dia berjanji
bersama Liverpool musim depan, akan berjuang lagi dan lagi.
Pun dengan pernyataan menarik Rodgers saat menerima
penghargaan Manajer Terbaik versi LMA. Dia berkata lebih memilih berada di bus
tak beratap pada malam itu ketimbang menerima penghargaan. Ya, terlepas dari
pelbagai pernyataan bijak khas sang manajer, sakit hati dan kekecewaan jelas
ada di hatinya. Pelik, sakit.
Pagi itu berjalan begitu lambat. Tamparan di hati Don
mengakibatkan sakit yang bertahan lama. Bukan tak bersyukur, tapi Don adalah
sosok yang penuh mimpi dan harapan. Dia tahu, tak akan mudah bagi Liverpool
untuk mengalami musim yang sama seperti musim ini. Tamparan hati yang lebih terasa
ketimbang tamparan di pipi.
Ya, setidaknya ini adalah tamparan pelajaraan. Tak ada
tamparan yang satu rasa dengan kecupan, tetapi, efek sebuah tamparan bisa jauh
lebih positif untuk pembelajaran ketimbang kecupan yang berujung peraduan di
ranjang.
Tamparan yang tak hanya dirasakan Don, tetapi seluruh fans
Liverpool, dari yang mencoba sabar dan menghibur diri, hingga yang menangis
sesenggukan penuh kekecewaan. Tamparan ini juga dirasakan seluruh pemain dan
staf The Reds. Mengalami musim istimewa, membuat pelbagai rekor menawan, tetapi
gagal mengangkat mimpi dan harapan selama 24 tahun. Tampar biar Sadar!
"DOONN!! Sudah jam 10.30, cepat makan!!" Ibu Don
kembali menyadarkan sang anak yang merenung cukup lama. Akhirnya, banyaknya
tamparan membuat Don sadar akan pelajaran berharga dari kekecewaan itu. Plaak!! Tamparan keras terakhir ke pipi
sendiri berakhir senyuman dari muka Don. Beranjaklah dia ke meja makan, mencoba
melupakan, dan memakan Indomie Kari Ayam dengan penuh kesadaran.
Written by: @redzkop
Written by: @redzkop
Jangan sedih Don, Kamu tak sendirian dalam kesedihanmu
ReplyDelete