Musim 2013/2014 adalah musim kebangkitan Liverpool , sang raksasa yang seakan “tertidur” panjang
selama bertahun-tahun. Meski telah tampil dan menjadi pemimpin klasemen selama
beberapa pekan menjelang akhir musim, Liverpool
justru menggenapi puasa gelar Liga Inggrisnya menjadi 25 tahun. Penantian yang
sangat panjang untuk klub sebesar The
Reds setelah terakhir mencium trofi bahkan ketika saya belum lahir di dunia
ini. Namun meski saya tidak menjadi bagian sekaligus saksi kehebatan Liverpool di masa-masa itu, saya bangga menjadi
pendukungnya di masa sekarang meski Liverpool
belum kembali menunjukkan keperkasaannya seperti dulu. Dan saya yakin, para
Kopites lain yang seumuran dengan saya juga memiliki pemikiran sama meski tidak
secara langsung menyaksikan sejarah hebat itu.
Meski Liverpool belum berhasil mengembalikan
kejayaannya, mereka tidak akan pernah ditinggalkan oleh Kopites. Kopites juga
tidak serta merta menghujat pelatihnya sendiri dengan hasil buruk apa pun yang
didapat. Mereka selalu respect pada
keputusan klub dan klub juga tidak memecat pelatih seenaknya sendiri dengan
cara yang tidak terhormat. Dan meski kejayaan itu belum bisa dilihat lagi di
masa sekarang, namun Liverpool adalah salah satu dari lima klub yang mendapat
kehormatan batch of honour bersama AC
Milan, Ajax Amsterdam, Real Madrid, dan Bayern Muenchen. Terbukti bahwa sejarah
tak pernah dilupakan oleh publik sepak bola sekali pun hal itu terjadi jauh di
masa lalu dan belum terulang lagi.
Masa hebat Liverpool
di era modern yang sempat saya saksikan adalah ketika menjadi juara Liga
Champions tahun 2005. Momen itu adalah salah satu momen paling menakjubkan
dalam sejarah Liverpool karena tim tersebut
meraih gelar juara dengan cara yang sangat dramatis. Kota Istanbul menjadi
saksi betapa hebatnya tim yang saat itu dibesut Rafael Benitez memulangkan AC Milan dengan rasa kecewa.
Liverpool telah kemasukan 3 gol di babak
pertama, membuat AC Milan
percaya diri secara penuh bahwa trofi Liga Champions akan dibawa ke Italia.
Kopites yang saat itu berada di Istanbul
juga mungkin telah menyerah dan menganggap Liverpool
telah kalah.
Akan tetapi, semangat yang selalu tertera dalam
tulisan “You’ll Never Walk Alone”
ditunjukkan The Anfield Gang ketika
memainkan babak kedua. Mereka beruntung memiliki suporter luar biasa yang tidak
pernah berhenti bernyanyi sekali pun mereka telah kemasukan 3 gol. Semangat itu
dimulai dari seorang Steven Gerrard, sang kapten fantastik yang berhasil
menjebol gawang Milan
melalui tendangan kerasnya. Selebrasi Gerrard yang mengangkat kedua tangannya
ke atas menunjukkan bahwa ia berusaha mengajak seluruh rekannya untuk tetap
bermain dengan penuh semangat hingga pertandingan berakhir. Gerrard mungkin
berkeyakinan bahwa semuanya belum habis dan everything's
possible. Menjawab ajakan Gerrard, 2 gol kembali dilesakkan ke gawang Milan melalui Xabi Alonso
dan Vladimir Smicer. Hasil akhir ketika peluit panjang babak kedua ditiup
membuat kedua tim harus melanjutkan pertandingan melalui extra time hingga duel adu penalti.
Jerzy Dudek menjadi pahlawan Liverpool
di akhir adu penalti. Bloknya pada tendangan Andriy Shevchenko disambut dengan
penuh emosional oleh para punggawa The
Reds yang langsung berlari ke tengah lapangan. Selebrasi mengharukan
mewarnai penyerahan Piala Liga Champions yang langsung dicium Gerrard.
Perjuangan mereka begitu dramatis dan memberi pesan pada dunia bahwa tidak ada
yang tidak mungkin jika mereka terus berusaha dan bersemangat memberikan yang
terbaik. Jika ada Kopites yang pulang dulu dari stadion atau mematikan televisi
ketika babak pertama selesai, maka mereka harus lebih percaya bahwa harapan itu
harus selalu disimpan dalam hati dan tidak pernah dibuang hingga kita tahu
hasilnya seperti apa. Kopites sejati adalah mereka yang percaya bahwa di dunia
ini segala sesuatu mungkin bisa terjadi, meski secara realistis dan matematis
akan sangat sulit.
Baiklah, itu tadi sekilas cerita kejayaan Liverpool di abad 21 yang paling terbaru. Sayang sekali,
sejak merengkuh trofi itu, Liverpool malah harus absen di Liga Champions musim
depannya karena mereka tidak berhasil finish
4 besar di klasemen akhir Liga Inggris. Mereka baru bisa kembali berlaga di
Liga Champions tahun 2009 ketika Fernando Torres masih dielu-elukan oleh publik
Anfield. Setelah tahun itu, Liverpool belum
lagi kembali ke pentas tertinggi Eropa sampai akhirnya mereka akan kembali ke
pentas itu musim depan.
Sejak ditinggalkan Rafael Benitez dengan gelar
prestisius Liga Champions tahun 2005 itu, Liverpool mengalami beberapa kali
pergantian pelatih dan manajer. Liverpool
belum menemukan pengganti yang pas untuk bisa membawa mereka kembali menjadi
klub elit di Inggris dan Eropa. Nama-nama seperti Roy Evans, Gerrard Houlier,
Roy Hodgson, dan Kenny Dalglish bergantian menjadi pelatih The Reds. Namun, prestasi yang mereka coba bangun pada Liverpool masih belum mencapai ekspektasi. Hingga muncul
nama Brendan Rodgers, mantan pelatih Swansea City yang masih muda, mendatangkan
harapan Liverpool dan seluruh pendukungnya untuk mencapai mimpi mereka,
termasuk juga saya, melihat Liverpool kembali berjaya.
Musim 2013/2014 menjadi musim di mana Liverpool berniat memperbaiki keadaan dan ingin
mengembalikan keperkasaan. Bersama Brendan Rodgers, mereka memiliki target
untuk kembali ke Liga Champions setelah absen di kompetisi itu selama
bertahun-tahun. Hanya itu target utama mereka musim ini. Mereka ingin finish 4 besar. Di awal tahun 2014,
skuad asuhan Brendan Rodgers tampil secara perkasa dan memukul tim-tim besar
macam Arsenal, Everton, Tottenham Hotspur, Manchester City ,
dan Manchester United. The Reds pun
menjadi penghuni peringkat satu klasemen selama beberapa bulan hingga
menciptakan harapan berlebih di hati para pendukungnya. Mereka ingin melihat
sang kapten fantastik mencium trofi Liga Inggris, satu-satunya trofi yang belum
pernah dia rasakan selama berkarir dengan The
Reds.
Harapan itu terus muncul. Semakin menjelang akhir
musim, mimpi itu terasa semakin nyata. Jika bukan karena Chelsea dan Crystal Palace
yang mengalahkan dan menahan imbang Liverpool ,
mimpi itu akan menjadi kenyataan semalam tadi. Air mata Gerrard yang sempat
menetes di matanya ketika Liverpool berhasil menjungkalkan City , akan menjadi banjir air mata
kebahagiaan jika saja Liverpool bisa terus
konsisten menang di sisa laga Liga Inggris musim 2013/2014. Sayang, Liverpool terlalu lengah di lini belakang untuk terus
mengejar gol kemenangan. Mimpi itu pun buyar ketika hampir menjadi kenyataan. Liverpool masih harus bersabar dan merelakan trofi jatuh
pada Manchester City dengan hanya terpaut dua poin.
Sejatinya, hasil akhir adalah mutlak keputusan Tuhan
yang tidak bisa kita utak-atik. Namun, berjuang dan membuat asa hingga akhir
adalah kewajiban kita. Liverpool telah
berusaha keras dan menciptakan mimpi untuk para pendukungnya hingga musim
2013/2014 hampir berakhir. Mereka telah memberikan yang terbaik dengan
mengerahkan segalanya. Musim yang akan sangat mengesankan bagi seluruh Kopites
di dunia. Trofi itu memang belum singgah padanya. Steven Gerrard memang belum
berhasil mencium trofi yang sangat diidamkannya itu. Namun, saya selalu yakin
bahwa di bawah kepemimpinan Gerrard, trofi
English Premier League suatu saat akan singgah ke Merseyside, pada klub
Merah dengan suporter fantastis, Liverpool.
Terima kasih untuk musim 2013/2014 yang luar biasa, Liverpool ! Terus kembalikan masa jayamu dan rengkuhlan
trofi sebanyak-banyaknya! Kopites akan selalu setia di sini, tetap mendukungmu
bagaimana pun keadaanmu. You'll Never
Walk Alone, Reds!
Written by: @senoritapuspita
Bro, gerrard 2005 ngegol pake sundulan, abis itu tahun 2005/2006 masuk liga champions, tapi lewat penyisihan pertama, tapi gugur di 16 besar ama benfica, taun 2007 masuk final, kalah sama milan
ReplyDeletetolong datanya yang akurat dong, jgn malah salah2 data
roy hodgson dipecat gara gara petisi online fans liverpool ... saya pikir fans lfc / kopites sama aja... kalo pelatih jelek ngapain dipuja...
ReplyDelete