12 May 2014

Walk on with hope in your heart... and keep the dreams alive!



Musim 2013/2014 adalah musim kebangkitan Liverpool, sang raksasa yang seakan “tertidur” panjang selama bertahun-tahun. Meski telah tampil dan menjadi pemimpin klasemen selama beberapa pekan menjelang akhir musim, Liverpool justru menggenapi puasa gelar Liga Inggrisnya menjadi 25 tahun. Penantian yang sangat panjang untuk klub sebesar The Reds setelah terakhir mencium trofi bahkan ketika saya belum lahir di dunia ini. Namun meski saya tidak menjadi bagian sekaligus saksi kehebatan Liverpool di masa-masa itu, saya bangga menjadi pendukungnya di masa sekarang meski Liverpool belum kembali menunjukkan keperkasaannya seperti dulu. Dan saya yakin, para Kopites lain yang seumuran dengan saya juga memiliki pemikiran sama meski tidak secara langsung menyaksikan sejarah hebat itu.

Meski Liverpool belum berhasil mengembalikan kejayaannya, mereka tidak akan pernah ditinggalkan oleh Kopites. Kopites juga tidak serta merta menghujat pelatihnya sendiri dengan hasil buruk apa pun yang didapat. Mereka selalu respect pada keputusan klub dan klub juga tidak memecat pelatih seenaknya sendiri dengan cara yang tidak terhormat. Dan meski kejayaan itu belum bisa dilihat lagi di masa sekarang, namun Liverpool adalah salah satu dari lima klub yang mendapat kehormatan batch of honour bersama AC Milan, Ajax Amsterdam, Real Madrid, dan Bayern Muenchen. Terbukti bahwa sejarah tak pernah dilupakan oleh publik sepak bola sekali pun hal itu terjadi jauh di masa lalu dan belum terulang lagi.

Masa hebat Liverpool di era modern yang sempat saya saksikan adalah ketika menjadi juara Liga Champions tahun 2005. Momen itu adalah salah satu momen paling menakjubkan dalam sejarah Liverpool karena tim tersebut meraih gelar juara dengan cara yang sangat dramatis. Kota Istanbul menjadi saksi betapa hebatnya tim yang saat itu dibesut Rafael Benitez memulangkan AC Milan dengan rasa kecewa. Liverpool telah kemasukan 3 gol di babak pertama, membuat AC Milan percaya diri secara penuh bahwa trofi Liga Champions akan dibawa ke Italia. Kopites yang saat itu berada di Istanbul juga mungkin telah menyerah dan menganggap Liverpool telah kalah.

Akan tetapi, semangat yang selalu tertera dalam tulisan “You’ll Never Walk Alone” ditunjukkan The Anfield Gang ketika memainkan babak kedua. Mereka beruntung memiliki suporter luar biasa yang tidak pernah berhenti bernyanyi sekali pun mereka telah kemasukan 3 gol. Semangat itu dimulai dari seorang Steven Gerrard, sang kapten fantastik yang berhasil menjebol gawang Milan melalui tendangan kerasnya. Selebrasi Gerrard yang mengangkat kedua tangannya ke atas menunjukkan bahwa ia berusaha mengajak seluruh rekannya untuk tetap bermain dengan penuh semangat hingga pertandingan berakhir. Gerrard mungkin berkeyakinan bahwa semuanya belum habis dan everything's possible. Menjawab ajakan Gerrard, 2 gol kembali dilesakkan ke gawang Milan melalui Xabi Alonso dan Vladimir Smicer. Hasil akhir ketika peluit panjang babak kedua ditiup membuat kedua tim harus melanjutkan pertandingan melalui extra time hingga duel adu penalti.

Jerzy Dudek menjadi pahlawan Liverpool di akhir adu penalti. Bloknya pada tendangan Andriy Shevchenko disambut dengan penuh emosional oleh para punggawa The Reds yang langsung berlari ke tengah lapangan. Selebrasi mengharukan mewarnai penyerahan Piala Liga Champions yang langsung dicium Gerrard. 

Perjuangan mereka begitu dramatis dan memberi pesan pada dunia bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika mereka terus berusaha dan bersemangat memberikan yang terbaik. Jika ada Kopites yang pulang dulu dari stadion atau mematikan televisi ketika babak pertama selesai, maka mereka harus lebih percaya bahwa harapan itu harus selalu disimpan dalam hati dan tidak pernah dibuang hingga kita tahu hasilnya seperti apa. Kopites sejati adalah mereka yang percaya bahwa di dunia ini segala sesuatu mungkin bisa terjadi, meski secara realistis dan matematis akan sangat sulit.

Baiklah, itu tadi sekilas cerita kejayaan Liverpool di abad 21 yang paling terbaru. Sayang sekali, sejak merengkuh trofi itu, Liverpool malah harus absen di Liga Champions musim depannya karena mereka tidak berhasil finish 4 besar di klasemen akhir Liga Inggris. Mereka baru bisa kembali berlaga di Liga Champions tahun 2009 ketika Fernando Torres masih dielu-elukan oleh publik Anfield. Setelah tahun itu, Liverpool belum lagi kembali ke pentas tertinggi Eropa sampai akhirnya mereka akan kembali ke pentas itu musim depan.

Sejak ditinggalkan Rafael Benitez dengan gelar prestisius Liga Champions tahun 2005 itu, Liverpool mengalami beberapa kali pergantian pelatih dan manajer. Liverpool belum menemukan pengganti yang pas untuk bisa membawa mereka kembali menjadi klub elit di Inggris dan Eropa. Nama-nama seperti Roy Evans, Gerrard Houlier, Roy Hodgson, dan Kenny Dalglish bergantian menjadi pelatih The Reds. Namun, prestasi yang mereka coba bangun pada Liverpool masih belum mencapai ekspektasi. Hingga muncul nama Brendan Rodgers, mantan pelatih Swansea City yang masih muda, mendatangkan harapan Liverpool dan seluruh pendukungnya untuk mencapai mimpi mereka, termasuk juga saya, melihat Liverpool kembali berjaya.

Musim 2013/2014 menjadi musim di mana Liverpool berniat memperbaiki keadaan dan ingin mengembalikan keperkasaan. Bersama Brendan Rodgers, mereka memiliki target untuk kembali ke Liga Champions setelah absen di kompetisi itu selama bertahun-tahun. Hanya itu target utama mereka musim ini. Mereka ingin finish 4 besar. Di awal tahun 2014, skuad asuhan Brendan Rodgers tampil secara perkasa dan memukul tim-tim besar macam Arsenal, Everton, Tottenham Hotspur, Manchester City, dan Manchester United. The Reds pun menjadi penghuni peringkat satu klasemen selama beberapa bulan hingga menciptakan harapan berlebih di hati para pendukungnya. Mereka ingin melihat sang kapten fantastik mencium trofi Liga Inggris, satu-satunya trofi yang belum pernah dia rasakan selama berkarir dengan The Reds.

Harapan itu terus muncul. Semakin menjelang akhir musim, mimpi itu terasa semakin nyata. Jika bukan karena Chelsea dan Crystal Palace yang mengalahkan dan menahan imbang Liverpool, mimpi itu akan menjadi kenyataan semalam tadi. Air mata Gerrard yang sempat menetes di matanya ketika Liverpool berhasil menjungkalkan City, akan menjadi banjir air mata kebahagiaan jika saja Liverpool bisa terus konsisten menang di sisa laga Liga Inggris musim 2013/2014. Sayang, Liverpool terlalu lengah di lini belakang untuk terus mengejar gol kemenangan. Mimpi itu pun buyar ketika hampir menjadi kenyataan. Liverpool masih harus bersabar dan merelakan trofi jatuh pada Manchester City dengan hanya terpaut dua poin.

Sejatinya, hasil akhir adalah mutlak keputusan Tuhan yang tidak bisa kita utak-atik. Namun, berjuang dan membuat asa hingga akhir adalah kewajiban kita. Liverpool telah berusaha keras dan menciptakan mimpi untuk para pendukungnya hingga musim 2013/2014 hampir berakhir. Mereka telah memberikan yang terbaik dengan mengerahkan segalanya. Musim yang akan sangat mengesankan bagi seluruh Kopites di dunia. Trofi itu memang belum singgah padanya. Steven Gerrard memang belum berhasil mencium trofi yang sangat diidamkannya itu. Namun, saya selalu yakin bahwa di bawah kepemimpinan Gerrard, trofi English Premier League suatu saat akan singgah ke Merseyside, pada klub Merah dengan suporter fantastis, Liverpool.


Terima kasih untuk musim 2013/2014 yang luar biasa, Liverpool! Terus kembalikan masa jayamu dan rengkuhlan trofi sebanyak-banyaknya! Kopites akan selalu setia di sini, tetap mendukungmu bagaimana pun keadaanmu. You'll Never Walk Alone, Reds!

Written by: @senoritapuspita

2 comments:

  1. Bro, gerrard 2005 ngegol pake sundulan, abis itu tahun 2005/2006 masuk liga champions, tapi lewat penyisihan pertama, tapi gugur di 16 besar ama benfica, taun 2007 masuk final, kalah sama milan

    tolong datanya yang akurat dong, jgn malah salah2 data

    ReplyDelete
  2. roy hodgson dipecat gara gara petisi online fans liverpool ... saya pikir fans lfc / kopites sama aja... kalo pelatih jelek ngapain dipuja...

    ReplyDelete