14 May 2014

Tampar Biar Sadar


Plaak!! seorang ibu menampar muka anaknya yang akhirnya terbangun dari tidur. Bukan, tamparan bukan tindak kekerasan. Sang ibu hanya berang melihat anak lelakinya sangat gemar tidur dalam satu tahun terakhir. Karena pekerjaan sang anak berbeda dengan pekerja pada umumnya, yang harus memiliki aturan masuk pagi pulang sore atau malam, maka anak lelaki bandel ini kerjanya hanya makan tidur makan tidur, kemudian baru menikmati hidup ketika matahari terbenam dan langit menunjukkan keindahan bulan.

Plaak!! Tamparan kedua akhirnya membangunkan sang anak. "Kamu tuh yaa, kerjanya pulang larut terus semalaman. Hidup bukan sekadar Bali Hai nak. Makan sana," omel sang ibu. Si anak pun dengan setengah sadar dan emosi yang tertahan, mencoba bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Terhuyung dia menuju kamar mandi untuk sedikit memainkan penis demi keluarnya sisa-sisa alkohol berupa pipis. Kemudian dia basuh muka dengan air jernih dari keran wastafel. Pyaar, Pyaar, Pyaar!

Seiring dengan air yang membuat mukanya segar, hatinya langsung terpatri kepada satu hal. Satu hal menyesakkan yang membuatnya terperangah kepada burung-burung peliharaannya. Kakinya mendadak berat. Dia terjatuh dengan keras ke sofa ruang bawah. Otaknya memikirkan semua momen di malam sebelumnya. Sebuah momen menyakitkan laiknya sebuah tamparan dari Tangan Budha Stephen Chow di Kungfu Hustle.

Liverpool. Liverpool. Liverpool. Adalah alasan utama anak ini mengalami frustrasi yang teramat sangat pagi itu. Sebagai fans sejati The Reds, dia belum bisa menerima kenyataan bahwa tim idolanya gagal juara. Gagal setelah mengalami musim terbaik selama 10 tahun terakhir. Perasaan Don, nama sang anak, campur aduk. Melewati laga terakhir dengan kemenangan dramatis karena comeback, tapi gagal juara akibat kemenangan Manchester City atas West Ham United, hatinya terbelah dua. Logikanya jalan dengan teratur, tapi kekecewaan tak bisa ditutupi. The Reds, tim kesayangan Don, harus kembali gagal meraih trofi Premier League.

Pagi itu menjadi pagi yang amat panjang bagi Don. Pikirannya ngalor ngidul mencoba meratapi, menganalisa, hingga mencari-cari alasan yang tepat mengapa Liverpool kembali harus menunggu. Menunggu meraih satu trofi itu. Membuka timeline twitter dirasa bisa membantu. Tetapi apa, yang ada adalah hiburan-hiburan penuh ilusi. Pujian-pujian yang menyerupai topeng badut yang menakutkan.

Ya, target Liverpool awal musim adalah finis di peringkat empat yang berarti lolos Liga Champions. Dan finis di peringkat dua adalah prestasi yang jelas membanggakan. Luis Suarez menjadi PFA Player of The Year, Premier League Player of The Year, Top Skorer, dan FWA Footballer of the Year. Steven Gerrard kembali ke permainan puncak dan menjadi raja assist di Premier League dengan 13 assist. Brendan Rodgers melengkapi prestasi setelah terpilih sebagai Manajer terbaik versi LMA. The Reds pun mampu mencetak 101 gol musim ini. Permainan atraktif pasukan Brendan Rodgers, seyogyanya membuat bangga para suporter. Ya, kami bangga, tetapi rasa kecewa itu masih sangat terasa.

Pikiran Don terus berputar. Dia mencoba menjadi sosok yang bijak dan bersyukur atas prestasi tim kesayangannya. Tapi, hati tak bisa bohong. Pagi itu, dia terbayang-bayang tekel keras Jordan Henderson ke kaki Samir Nasri. Kemudian, muncul bayang-bayang Steven Gerrard yang terpeleset di rumput yang menemaninya sepanjang karier. Lalu muncul Hantu Istanbul yang berwujud Selhurst Park.

Plaak!! Plaak!! Plaak!! Don kali ini menampar-nampar diri sendiri. Tamparan yang membuat kedua pipinya memerah semirip Sir Alex Ferguson saat tahu Manchester United finis peringkat tujuh. Entah masih setengah mabuk, atau merasakan sisa pusing, Don belum bisa move-on. Hari senin itu bisa dibilang sebagai Senin terburuknya di tahun 2014. Ditambah cuaca mendung yang membuat suasana rumah semakin kelam.

Mencoba mencari kegiatan, Don membuka video para pemain Liverpool saat melakukan Lap Of Honour setelah laga terakhir melawan Newcastle. Alih-alih mendapat hiburan dengan melihat para pemain bersama keluarganya berterima kasih pada fans dan saling berfoto, air mata malah mengalir dari mata Don. Bukan, bukan karena Aly Cissokho yang meminta Gerrard berfoto bersama atau Martin Skrtel yang melempar sang anak seenaknya. Pun Brendan Rodgers yang melempar bola persis ke muka anak perempuan Glen Johnson.

Tetapi ketika melihat ekspresi Steven Gerrard saat itu. Tak ada senyum tulus. Tak ada kebahagiaan. Sorot matanya seperti orang yang yang berada di tengah padang gersang. Applausenya ke penonton seperti permintaan maaf tanpa suara. Gerrard tak bisa bohong. Hati berbicara lewat mata. Berbeda dengan Rodgers. Sang manajer memberikan penghormatan kepada seluruh fans sambil berkali-kali menepuk dada. B-Rod seperti berkata "Ini hanya sebuah awal dari pelbagai kebanggaan yang akan datang dalam beberapa tahun ke depan". Dua orang ini membuat Don menangis di pagi yang akhirnya hujan. Semesta mendukung. Ya, semesta merasakan sakit yang sama dan belum mengizinkan Liverpool juara. Pahit.

Tak berhenti disitu, Don juga mendengar wawancara Claire Rourke bersama Daniel Sturridge. Stu adalah sosok yang membuat pernyataan paling jujur. Dia mengatakan sangat kecewa karena gagal membawa Liverpool juara. Pada semua olahraga, juara dua tak pernah dilirik. Sturridge tidak mencoba menghibur fans, tetapi dia mengatakan segala yang dirasakan dengan objektif. Permintaan maaf pun diutarakan Stu kepada seluruh fans. Dia berjanji bersama Liverpool musim depan, akan berjuang lagi dan lagi.

Pun dengan pernyataan menarik Rodgers saat menerima penghargaan Manajer Terbaik versi LMA. Dia berkata lebih memilih berada di bus tak beratap pada malam itu ketimbang menerima penghargaan. Ya, terlepas dari pelbagai pernyataan bijak khas sang manajer, sakit hati dan kekecewaan jelas ada di hatinya. Pelik, sakit.

Pagi itu berjalan begitu lambat. Tamparan di hati Don mengakibatkan sakit yang bertahan lama. Bukan tak bersyukur, tapi Don adalah sosok yang penuh mimpi dan harapan. Dia tahu, tak akan mudah bagi Liverpool untuk mengalami musim yang sama seperti musim ini. Tamparan hati yang lebih terasa ketimbang tamparan di pipi.

Ya, setidaknya ini adalah tamparan pelajaraan. Tak ada tamparan yang satu rasa dengan kecupan, tetapi, efek sebuah tamparan bisa jauh lebih positif untuk pembelajaran ketimbang kecupan yang berujung peraduan di ranjang.

Tamparan yang tak hanya dirasakan Don, tetapi seluruh fans Liverpool, dari yang mencoba sabar dan menghibur diri, hingga yang menangis sesenggukan penuh kekecewaan. Tamparan ini juga dirasakan seluruh pemain dan staf The Reds. Mengalami musim istimewa, membuat pelbagai rekor menawan, tetapi gagal mengangkat mimpi dan harapan selama 24 tahun. Tampar biar Sadar!

"DOONN!! Sudah jam 10.30, cepat makan!!" Ibu Don kembali menyadarkan sang anak yang merenung cukup lama. Akhirnya, banyaknya tamparan membuat Don sadar akan pelajaran berharga dari kekecewaan itu. Plaak!! Tamparan keras terakhir ke pipi sendiri berakhir senyuman dari muka Don. Beranjaklah dia ke meja makan, mencoba melupakan, dan memakan Indomie Kari Ayam dengan penuh kesadaran.

Written by: @redzkop

1 comment:

  1. Jangan sedih Don, Kamu tak sendirian dalam kesedihanmu

    ReplyDelete