Luis Alberto Suarez Diaz, familiar? Satu, apakah dia seorang
pemain hebat dengan kemampuan mumpuni dalam mengolah si kulit bundar dan
memiliki naluri gol mematikan ketika berada di depan jala lawan? Atau dua, seseorang
yang bergigi berkemampuan menonjol asal Amerika Latin
yang memiliki kebiasaan unik mencicipi rasa daging manusia laiknya Hannibal
Lecter? Sayangnya kini poin kedua lebih merekat kepada citra seorang Luis
Suarez. Saat ini dirinya lebih digembar-gemborkan sebagai tukang gigit orang
ketimbang seorang pebola handal dengan skill kelas dunia. Terlebih skandal
terbarunya kini juga tidak jauh-jauh dari masalah gigit-menggigit. Setelah lumayan hit dengan episode cita rasa Maroko dan Serbia pada dua edisi
sebelumnya, dalam episode terkini dari acara Wisata Kuliner bersama Luis
Suarez, membahas soal rasa seorang Italia.
Sudah jelas memang bukan kali pertama Suarez menggigit orang
dan FIFA atau siapapun itu yang berwenang atas kasusnya mungkin sampai jengah
karena sang pemain tak kunjung jera.
Sampai dikeluarkan hukuman match-ban
selama 4 bulan dalam segala aktivitas sepakbola. Baik level timnas, klub atau bahkan
hanya sekedar melemaskan kaki di training ground saja haram hukumnya. Berlebihan?
Iya.
Kita mencintai Luis Suarez sebagaimana kita terkadang juga
“membencinya”, tidak peduli berapa banyak
ulah yang telah ia perbuat, disitulah LFC, sebagai klub yang memiliki jasanya
berjuang mati-matian untuk membela superstarnya tersebut. Klub, yang kita tau,
pasti akan membantunya (untuk kesekian kalinya). Saya tidak tahu jika sang
pemain akan tetap berulah setelahnya sampai pada akhirnya mencapai titik jenuh
untuk pihak klub, terutama. Tapi ayolah, tidak ada satu klub pun rela kehilangan
salah satu bintang terhebatnya dengan cara apapun. Terlepas dari titah King
Kenny Dalglish yang menyatakan bahwa “No
one is bigger than the club”, tidak ada seorang pun yang bisa lebih besar
dari klub. Tapi untuk seorang pemain yang bisa disejajarkan dengan nama2 tenar
dunia seperti Messi, Ronaldo, Neymar dsb –no,
King, not this time. Suarez sangat
berarti, he’s indeed something to fight
for. Meski wacana jual-jual-jual tetap akan menghiasi media dalam beberapa
periode ke depan. Bahkan beberapa legenda seperti Phil Thompson, Robbie Fowler
dan Didi Hamann sudah angkat bicara mengenai sang mega bintang, mereka menegaskan
bahwa LFC sudah terlalu baik terhadap Luis dan sekarang saatnya bagi klub untuk
bertindak tegas. Dijual? Ya itu salah satu langkah “tegas” yang dimaksud. Tapi
saya bertaruh tidak ada se-Kopite pun yang dapat legowo melihat kepergian sang
bintang (setidaknya sampai pemain sepadan didatangkan). Yes ,he’s a cunt…our beloved thundercunt.
Dalam sepakbola modern dewasa ini, yang sudah memiliki
kesamaan laiknya guratan pena yang membentuk sebuah skenario drama. Dimana di situ
ada peran protagonis dan antagonis. Sebagian besar berhasil menghadirkan kesan
baik pada Lionel Andres Messi, sebagaimana mereka juga berhasil dalam
menciptakan aura bad-boy pada
Cristiano Ronaldo. Dan untuk Suarez, dia adalah penjahat, kriminal dan sumber
dari segala yang buruk-buruk – yang konon menjadi kesekian setelah
alkohol,pornografi, marijuana dan Grand Theft Auto. Niscaya akan nyaris sulit
dipercaya jika ada seorang anak yang dengan polosnya berkata ingin menjadi pesepakbola hebat
seperti Luis Suarez. Mungkin akan memiliki konteks yang sama seperti “Saya
ingin menjadi penjahat sejenius Joker” atau “Saya ingin menjadi pencuri sehebat
Arsene Lupin” dsb.
Namun penjahat bagi suatu kaum adalah pahlawan bagi suatu
kaum juga. Di kampung halamannya sana, Uruguay, terlepas dari bagaimana
sebagian besar isi semesta mengutuk Suarez, dukungan untuk sang bintang juga tak kalah
deras mengalir dari publik tanah airnya. Hal yang dapat dicerminkan oleh
dukungan dari rekan2 di timnas Celeste,
federasi sepakbola negerinya, bahkan dari sang kepala negara. Bintang sekaligus kapten timnas Ghana,
Asamoah Gyan bahkan berkata bahwa ia siap untuk melakukan apapun demi tanah
airnya termasuk untuk menjadi bedebah
kotor laiknya Suarez. Jika itu memang
perlu, kenapa tidak?
Dalam menghadapi suatu permasalahan, manusia sejatinya dibekali
oleh Tuhan YME dua hal: Emosi perasaan dan Akal sehat logika. Maka untuk soal
Luis Suarez, adalah emosi dan sentimental semata yang mengatakan bahwa Suarez
adalah penjahat, disgrace, cheater,
racist, thundercunt dan segala macam predikat buruk yang ada di seluruh
muka bumi ini untuk dirinya. Sah-sah saja. Namun jika kita dan mereka mau
memberi sedikit ruang untuk logika, adalah naïf jika anda tidak mau seorang
Suarez berada di klub anda. Pesepakbola hebat dan juga seorang yang siap
memberikan yang terbaik untuk setiap pihak yang ia bela (dengan cara apapun).
Dia adalah seorang insan sepakbola yang brilian, terlepas dari kecintaannya
terhadap skandal dan kontroversi.
Cinta dan benci umumnya adalah dua hal yang tidak bisa
menyatu. Namun jikalau ada dan perlu suatu hal yang dapat menyatukan mereka di
satu meja sembari beradu gelas bersulang, pastilah hal tersebut mengandung:
Luis Suarez.
Artikel ini ditulis oleh: @demas_sasongko
Oh Luis. . .Pergilah jika kamu mau, atau tinggalah jika kamu tahu bahwa Anfield selalu terbuka untukmu. . .
ReplyDelete