29 June 2014

Persulangan Cinta dan Benci: Luis Suarez

Luis Alberto Suarez Diaz, familiar? Satu, apakah dia seorang pemain hebat dengan kemampuan mumpuni dalam mengolah si kulit bundar dan memiliki naluri gol mematikan ketika berada di depan jala lawan? Atau dua, seseorang yang  bergigi  berkemampuan menonjol asal Amerika Latin yang memiliki kebiasaan unik mencicipi rasa daging manusia laiknya Hannibal Lecter? Sayangnya kini poin kedua lebih merekat kepada citra seorang Luis Suarez. Saat ini dirinya lebih digembar-gemborkan sebagai tukang gigit orang ketimbang seorang pebola handal dengan skill kelas dunia. Terlebih skandal terbarunya kini juga tidak jauh-jauh dari masalah gigit-menggigit.  Setelah lumayan hit dengan episode cita rasa Maroko dan Serbia pada dua edisi sebelumnya, dalam episode terkini dari acara Wisata Kuliner bersama Luis Suarez, membahas soal rasa seorang Italia.

Sudah jelas memang bukan kali pertama Suarez menggigit orang dan FIFA atau siapapun itu yang berwenang atas kasusnya mungkin sampai jengah karena sang pemain  tak kunjung jera. Sampai dikeluarkan hukuman match-ban selama 4 bulan dalam segala aktivitas sepakbola. Baik level timnas, klub atau bahkan hanya sekedar melemaskan kaki di training ground saja haram hukumnya. Berlebihan? Iya.

Kita mencintai Luis Suarez sebagaimana kita terkadang juga “membencinya”, tidak peduli  berapa banyak ulah yang telah ia perbuat, disitulah LFC, sebagai klub yang memiliki jasanya berjuang mati-matian untuk membela superstarnya tersebut. Klub, yang kita tau, pasti akan membantunya (untuk kesekian kalinya). Saya tidak tahu jika sang pemain akan tetap berulah setelahnya sampai pada akhirnya mencapai titik jenuh untuk pihak klub, terutama. Tapi ayolah, tidak ada satu klub pun rela kehilangan salah satu bintang terhebatnya dengan cara apapun. Terlepas dari titah King Kenny Dalglish yang menyatakan bahwa “No one is bigger than the club”, tidak ada seorang pun yang bisa lebih besar dari klub. Tapi untuk seorang pemain yang bisa disejajarkan dengan nama2 tenar dunia seperti Messi, Ronaldo, Neymar dsb –no, King, not this time. Suarez sangat berarti, he’s indeed something to fight for. Meski wacana jual-jual-jual tetap akan menghiasi media dalam beberapa periode ke depan. Bahkan beberapa legenda seperti Phil Thompson, Robbie Fowler dan Didi Hamann sudah angkat bicara mengenai sang mega bintang, mereka menegaskan bahwa LFC sudah terlalu baik terhadap Luis dan sekarang saatnya bagi klub untuk bertindak tegas. Dijual? Ya itu salah satu langkah “tegas” yang dimaksud. Tapi saya bertaruh tidak ada se-Kopite pun yang dapat legowo melihat kepergian sang bintang (setidaknya sampai pemain sepadan didatangkan). Yes ,he’s a cunt…our beloved thundercunt.

Dalam sepakbola modern dewasa ini, yang sudah memiliki kesamaan laiknya guratan pena yang membentuk sebuah skenario drama. Dimana di situ ada peran protagonis dan antagonis. Sebagian besar berhasil menghadirkan kesan baik pada Lionel Andres Messi, sebagaimana mereka juga berhasil dalam menciptakan aura bad-boy pada Cristiano Ronaldo. Dan untuk Suarez, dia adalah penjahat, kriminal dan sumber dari segala yang buruk-buruk – yang konon menjadi kesekian setelah alkohol,pornografi, marijuana dan Grand Theft Auto. Niscaya akan nyaris sulit dipercaya jika ada seorang anak yang dengan polosnya  berkata ingin menjadi pesepakbola hebat seperti Luis Suarez. Mungkin akan memiliki konteks yang sama seperti “Saya ingin menjadi penjahat sejenius Joker” atau “Saya ingin menjadi pencuri sehebat Arsene Lupin” dsb.

Namun penjahat bagi suatu kaum adalah pahlawan bagi suatu kaum juga. Di kampung halamannya sana, Uruguay, terlepas dari bagaimana sebagian besar isi semesta mengutuk Suarez,  dukungan untuk sang bintang juga tak kalah deras mengalir dari publik tanah airnya. Hal yang dapat dicerminkan oleh dukungan dari rekan2 di timnas Celeste, federasi sepakbola negerinya, bahkan dari sang kepala negara.  Bintang sekaligus kapten timnas Ghana, Asamoah Gyan bahkan berkata bahwa ia siap untuk melakukan apapun demi tanah airnya  termasuk untuk menjadi bedebah kotor  laiknya Suarez. Jika itu memang perlu, kenapa tidak?

Dalam menghadapi suatu permasalahan, manusia sejatinya dibekali oleh Tuhan YME dua hal: Emosi perasaan dan Akal sehat logika. Maka untuk soal Luis Suarez, adalah emosi dan sentimental semata yang mengatakan bahwa Suarez adalah penjahat, disgrace, cheater, racist, thundercunt dan segala macam predikat buruk yang ada di seluruh muka bumi ini untuk dirinya. Sah-sah saja. Namun jika kita dan mereka mau memberi sedikit ruang untuk logika, adalah naïf jika anda tidak mau seorang Suarez berada di klub anda. Pesepakbola hebat dan juga seorang yang siap memberikan yang terbaik untuk setiap pihak yang ia bela (dengan cara apapun). Dia adalah seorang insan sepakbola yang brilian, terlepas dari kecintaannya terhadap skandal dan kontroversi.


Cinta dan benci umumnya adalah dua hal yang tidak bisa menyatu. Namun jikalau ada dan perlu suatu hal yang dapat menyatukan mereka di satu meja sembari beradu gelas bersulang, pastilah hal tersebut mengandung: Luis Suarez. 

Artikel ini ditulis oleh: @demas_sasongko

1 comment:

  1. Oh Luis. . .Pergilah jika kamu mau, atau tinggalah jika kamu tahu bahwa Anfield selalu terbuka untukmu. . .

    ReplyDelete