21 October 2014

Real Madrid Tak Sesempurna Itu, Kok

Anfield akan menjadi saksi laga klasik antara Liverpool dan Real Madrid hari Kamis ini, dan bagi kalian yang biasanya malas untuk mencari keterangan di Livescore; pertandingan itu akan dimainkan pada pukul 01:45 WIB Live di SCTV.



Sebagai pandit abal-abal yang menyamakan West Ham dengan Stewart Downing-nya sebagai Los Blancos dan Cristiano Ronaldo, saya enggan menganalisis mengapa SCTV nyaris selalu menyiarkan laga Barcelona dan Real Madrid di Liga Champions. Benarkah cuma dua tim itu yang paling diminati di ajang tertinggi Eropa? Permasalahannya terlalu pelik sehingga pandit abal-abal seperti saya tidak mampu menganalisisnya, banyak yang lebih kompeten dan cerdas untuk membahas hal tersebut.

Sedangkan saya akan lebih mencari satu sampai dua poin mengapa The Reds tak sepantasnya menundukan kepala melawan si Putih yang begitu digdaya di kompetisi domestiknya hingga Eropa. Meski harus jungkir-balik 'hanya' melawan Queens Park Rangers dan segudang PR di lini belakang serta bola-bola mati.

Sebelum laga dimulai saya ingin menjelaskan bahwa Real Madrid tidaklah asing bagi saya pribadi. Setelah menembatkan hati kepada rival sekota Liverpool di Merseyside pada akhir 90an, godaan untuk tidak mendukung tim yang dihuni oleh Luis Figo, Zinedine Zidane, Raul, Iker Casillas, Roberto Carlos hingga Guti Hernandez terlalu sulit untuk ditolak. Singkat cerita, since then, I could easily be a part-time Madridismo.

Maka dari itu, menarik melihat beberapa orang yang berkata bahwa Galacticos saat dibantai Liverpool di Anfield pada 2009 lalu masih terbilang cupu. Menurut saya, apa yang dikatakan orang itu benar. Gabriel Heinze, Arjen Robben, Wesley Sneijder, Fabio Cannavaro yang sudah tua dan Rafael van Der Vaart bukanlah nama-nama beken buat Madrid, saat itu mereka berada di masa transisi pasca dipecatnya Brend Schuster dan mengangkat Juande Ramos yang gagal total di Tottenham Hotspur sebagai penggantinya. Sungguh, wajar jika El Real dibuat tunduk di Anfield.

Tanpa bermaksud meremehkan tim lawan, apa yang dilakukan oleh Cristiano Ronaldo dalam delapan laga terakhirnya di mana ia melesakan 15 gol tak bisa dipandang sebelah mata. Terakhir meski tanpa Gareth Bale, pemain terbaik dunia 2013 itu mampu mencetak dua gol ke gawang Levante. Tapi Levante bukan Liverpool, meski keduanya punya mempunyai nama yang sama-sama berawalan dengan huruf 'L'. Apa yang dilakukan Ronaldo itu sudah pasti membuat beberapa orang ketar-ketir, benar, jika merujuk pada performanya dalam sebulan terakhir.

Akan tetapi, tahukah Anda jika sang pemain terbaik dunia yang gemar bersolek dan bersedekah ini gagal mencetak gol di lima laga terakhirnya di Anfield sebagai pemain Manchester United? Dan tahukah Anda bahwa kombinasi dengan Bale menghasilkan 47 persen dari semua gol Ronaldo di musim ini? Dan satu-satunya tim Inggris yang mempunyai rekor 100 persen kemenangan atas Real Madrid adalah hanya cuma Liverpool di tiga laga terakhir kedua tim di mana tiga pertemuan itu semua dilalui dengan clean sheets.

Ya, semua memang masa lalu -- tapi kata orang bijak berkata: 'sejarah pasti berulang'. Dan melalui data-data di atas, maka, tak semestinya Liverpool terlalu membungkuk tanpa perlawanan di tangan sang jawara Eropa pemilik 10 gelar Liga Champions itu.

Sebelum pengkotakan memuakan antara si optimis dan si pesimis kembali memanas, izinkan saya untuk memberikan sedikit analisa tak berkompeten mengapa Liverpool hari ini seharusnya mampu memberikan pertandingan seru kepada Real Madrid, meski dihadapi banyaknya problema di lini depan, tengah dan belakang.

1. Idealisme? Tiga poin lebih penting

Seorang politikus yang baik adalah ia yang memperjuangkan masyarakat yang mempunyai idealisme yang sama dengannya di parlemen ataupun dalam pemerintahan, sedangkan seorang pelatih yang 'agak' keras kepala tak peduli di situasi apapun akan menggunakan pola yang begitu idelis.

Arsene Wenger melakukan taktikal blunder di Anfield dan Stamford Bridge musim lalu, Pep Guardiola dengan keras kepala menolak untuk menurunkan harga diri serta garis lini belakangnya agar tidak dieksploitasi oleh serangan balik Real Madrid yang menyambar nyaris secepat halilintar.

Kita semua, baik yang mengganggap dirinya pintar ataupun hanya menempatkan diri sebagai suporter atau ia yang sibuk dengan gadgetnya menjadi analisator, tahu bahwa Real Madrid sangat menakutkan bukan saat mereka memegang bola, melainkan saat ia punya satu kesempatan untuk melakukan fast break.

Maksud saya, meskipun Brendan Rodgers sudah mulai melunak dengan menggunakan serangan balik juga sebagai senjata Liverpool, bermain api menggunakan pola high defensive line dan berlama-lama melakukan ball possesion, mungkin, bukan pilihan bijak.

Terutama untuk lawan yang bisa melakukan serangan balik sukses dengan hitungan 20 detik.

Idelisme dan prinsip penting bagi seorang laki-laki, tapi prioritas tentu harus diutamakan.

2. Iker Casillas bukan lagi Iker yang suci

Perdebatan antara pantas atau tidaknya Iker Casillas berada di bawah mistar gawang Real Madrid dan Spanyol terus diperdebatan akibat satu blunder kelainnya. Ia bukan lagi 'Santo' dan itu bisa dijadikan acuan.

Masih segar di ingatan bagaimana Casillas gagal mengantisipasi tendangan pemain Slovakia yang menuju lurus ke batang hidungnya. Saat seperti ini, Glen Johnson yang suka melakukan tendangan spekulasi bakal jauh lebih berguna ketimbang memainkan Javier Manquillo yang belum berpengalaman dan main aman.

We knew that our defending is bad so far, then why should we worry not to attack with Johnson as an extra winger on the right.

3. Absennya Gareth Bale


Carlo Ancelotti sudah memastikan bahwa pemain termahal dunia dalam diri Bale tidak akan bermain. Ini bisa dijadikan sebagai titik balik. Pertama karena ia punya rekor bagus mencetak gol di Anfield bersama Tottenham, kedua karena ia adalah mesin penggerak Los Merengues di lini serang sekaligus pelayan Cristiano Ronaldo.

Tanpanya, Isco dan James Rodriguez bakal bermain, akan tetapi kedua pemain ini tak berada di level yang sama dengan Bale. Satu sorakan di Anfield akan meluluhlantakan mental mereka, percayalah. Setidaknya sebelum laga dimulai nanti.

Dan absennya orang ini akan lebih kentara terlihat dibanding absennya Sergio Ramos di belakang.

4. Saatnya tunjukan taji, GlenJo


Mungkin saya adalah satu-satunya orang di planet Bumi yang masih mendukung Glen Johnson untuk bersinar di setahun terakhir kontraknya di Merseyside. Seperti layaknya mereka yang masih mendukung Mario Balotelli, saya pun menolak untuk putus asa pada bek kanan satu ini.

Paska sembuh dari cedera kontra Manchester City, saya melihat ada penaikan performa dari bek utama The Three Lions ini. Terlalu dini memang, tapi penampilan impresif Manquillo tampaknya punya andil bagaimana ia bisa cukup tampil baik West Brom (sebagai pengganti) ataupun kontra QPR.

Terlebih lagi Marcelo sebagai bek kiri gemar melakukan overlapping, dan Ronaldo yang tak punya beban bertahan. Dijaga Isco, yang secara fisik lemah, seharusnya bisa membuatnya sesekali melakukan cut inside dan melakukan percobaan tendangan jarak jauh dan berharap Casillas melakukan blunder.

5. Lubang peninggalan Xabi Alonso, berkah bagi Gerrard


Saya terlibat dalam debat bahwa Real Madrid kehilangan Alonso sebagai penyeimbang lini tengah Los Blancos bersama seorang kawan. Sami Khedira adalah seorang pemain box-to-box bukan destroyer murni, Alonso-lah orang yang menjaga kedalaman lini tengah Madrid.

Posisinya digantikan secara bergantian dengan Toni Kroos dan Luka Modric. Akan tetapi, tak ada satupun dari mereka yang merupakan seorang 'tukang tekel' di tengah. Mengekploitasinya dengan Steven Gerrard sebagai No.10 akan jadi pilihan bijak, mengingat menjadikannya sebagai No.4 akan membuatnya menjadi liabilitas.

Kenapa bukan Philippe Coutinho yang dimainkan di situ? Tunggu, saya bahkan tak menyarankan Rodgers untuk memainkan si Brasil dari peluit awal, melainkan jadi pemain alternatif di babak kedua. Ya, sekitar menit 60-an lah.

Alasannya sederhana, dalam dua laga kontra Everton dan QPR jelas ia adalah pembeda walaupun baru masuk di pertengahan babak kedua. Kedua, Real Madrid tak akan memainkan high defensive line yang bisa dijadikan 'mainan' oleh Coutinho. Contoh kasusnya adalah Newcastle dua musim silam dan Arsenal musim lalu. Jika tim lawan melakukan lini belakang dan dalam, maka, jurus tendangan mabuk akan dilakukannya. Mohon maaf buat penggemar Coutinho di luar sana, tapi membayangkannya saja sudah bikin frustrasi.

Memainkan Gerrard sebagai No.10 tidak akan jadi masalah kecuali stamina sang kapten. Akan tetapi, satu link-up play bersama Balotelli dan satu tendangan yang nyaris membuahkan gol di laga akhir pekan lalu, bisa dijadikan ajang 'pemanasan' sebelum mengeksplotasi borok peninggalan kawan baiknya itu. Big player made for a big game, have you ever heard that quote?

6. El Clasico

Laga akhir pekan ini akan mempertemukan Real Madrid dan Barcelona. Kurang lebih agaknya mereka pasti memecah dua konsentrasi ke laga super prestisius bagi mereka itu.

Dan, tanpa bermaksud untuk menggurui Brendan Rodgers sang juru latih, saya sebagai orang awam yang bahkan menjadi pelatih liga tarkam saja tidak pernah sekiranya membedah beberapa poin di atas, bukan untuk sang manajer. Namun agar setidaknya Steven Gerrard dkk bisa masuk lapangan dengan bangga dan menutup laga, menang ataupun kalah, dengan kepala tegak.

***



Ditulis tanpa paksaan dan tekanan oleh @MahendraSatya

3 comments:

  1. Damn it!! Bikin gw optimis nih tulisannya, come on reds!!

    ReplyDelete
  2. "this is anfield" akan memberikan tuah. Tulisan yang bagus om mahendra.YNWA..

    ReplyDelete
  3. Tulisan nanggung, mau model pange tapi penulisnya kurang cerdas dan parahnya garing

    ReplyDelete