Untuk kamu yang kelahiran 90’an
seperti saya, coba tanyakan pada logikamu “apalah hebatnya mencintai
Liverpool?” Jika Liverpool boleh diumpamakan sebagai seorang lelaki, bisa
dibilang, lewat sudah masa emasnya.
Setelah 2008, saya sebagai wanita-nya Liverpool sudah membiasakan diri
mencintai lelaki medioker selama kurang lebih 5 tahun lamanya. Selama itu pula,
mereka yang diseberang selalu berkata, “ah sudahlah Liverpool mah bakal
gitu-gitu aja. Kenapa gak memilih berpaling untuk menjadi seperti kami? Hidup tentaram
dengan om-om kaya”.
Cinta. Ya cuma cinta! Jangan
tanyakan alasan lainnya. Karna semakin anda paksa saya mendeskripsikannya, maka
saya hanya akan semakin terbata-bata. Karna cinta itu semakin dipikirkan, malah
semakin menghilang bentuknya.
Tak hanya peforma pemain, cinta pun
memiliki grafik tertentu. Tak percaya? Tanyakan pada mereka yang sudah
berpacaran lebih dari 5 tahun. Tak selamanya grafik cinta itu bergerak menanjak.
Ada kala dimana grafik tersebut bergerak turun mencapai titik terendah, titik
paling jenuh. Namun 2013/14, Brendan Rodgers dan skuat mininya secara tiba-tiba
mencoba menjawab cinta dari hati ini. Senyum sumringah tanpa balutan kejemawaan
di setiap awal pekan terus-menerus dihadirkan Liverpool. Hingga satu pekan tiba,
dimana semua menjadi biru. Dimana logika menjadi sangat berantonim dengan cinta.
Logika seakan terus menyerang dengan senjata bernama kekhawatiran. Namun logika
bukanlah musuh cinta.
Logika dan hati adalah dua hal yang
membantu perkembangan cinta dari waktu ke waktu dalam pribadi kita
masing-masing. Sejak kita lahir, cinta terus berevolusi hingga kita menua
kelak. Cinta anak kecil berbeda dengan cinta masa SMA, cinta masa SMA jauh berbeda
dengan masa dewasa. Cinta masa Tua? Saya belum sampai ke tahap itu.
Logika disisi kiri dan hati di sisi
kanannya cinta. Dalam proses menuju dewasa, logika semakin terlihat lebih
dominan peranannya daripada hati. Logika terus berusaha membentuk konsep tentang
cinta. Sedangkan hati terkesan pasif. Tidak, fenomena ini tidak hanya berlaku
bagi kaum pria, tetapi juga berlaku untuk kaum wanita. Saya adalah salah satu
penganut bahwa lelaki perempuan sama saja dalam hal cinta.
Tak mungkin ada istilah “cewek matrek,
cewek mata duitan”, tak mungkin pula bisa lahir kalimat “lelaki bego, masih
banyak cewek di dunia ini”. Banyak lelaki kehilangan wanita hebat hanya karna masalah
visual, banyak wanita kehilangan lelaki hebat hanya karna ketamakan. Bukankah
logika lebih mengambil banyak peran dalam kasus tersebut dibandingkan si hati.
Namun sekali lagi, logika bukanlah antitesis cinta.
Pada banyak kesempatan, logika
membuat kita sangatlah dekat dengan jurang ketakutan. Tapi pada saat-saat
seperti itulah kita harus bersyukur memiliki logika. Karna logikalah kita masih
bisa memiliki rasa takut. Karna manusia tanpa rasa takut, adalah manusia tanpa
harapan. Saat kita terjatuh dalam jurang ketakutan dan kekhawatiran, hati (yang
pasif tadi) tetibanya datang membangun bukit harapan dari dasar jurang tersebut
hingga mencapai langit. Bukankah di dunia ini, hanya hati seorang wanita yang
dapat mengubah lelaki paling menyedihkan menjadi lelaki paling tangguh didunia.
Sayangnya tak banyak wanita yang demikian. Kebanyakan mereka lebih memilih
pasrah menyerah pada logika. Maka dari itu, tak terlalu banyak pula lelaki
tangguh di dunia ini.
Kekalahan dari Chelsea, kemenangan
City atas Everton seakan memperkuat posisi logika. Tapi bagi saya, cinta ini menyoal
membangun bukit harapan di tandusnya tanah di dasar lembah kekhawatiran.
Kalaupun tak bisa di dunia nyata, maka dalam mimpi pun tak apa. Karna mimpi
adalah wadah terbaik bagi harapan, karna disana rasa takut dan khawatir sudah
dikebiri.
…
Walk
on! Walk On!
With
HOPE in your heart
And
You’ll Never Walk Alone.
Jadi sepekan ini, kemanakah kamu
akan mengarahkan cintamu? Ke arah logikamu, atau ke arah hatimu?
Written by: @rendybascou
galau min..
ReplyDeleteMau seperti apapun kalau sudah cinta kadang lupa sama logika, ibarat pacaran; nggak bisa makan enak direstoran ya makan bareng diangringan :-)
ReplyDelete#YNWA