Percakapan ini terjadi sehari setelah Liverpool takluk di Anfield oleh Chelsea. Lokasi obrolan kami adalah di sebuah cafe pojokan kota Hujan yang entah berapa hari lagi akan ditutup karena sepi pengunjung.
Seperti sedang membicarakan ideologi terlarang di
negeri ini, kami memilih untuk ngobrol berdua di tempat yang jauh dari kata
mainstream bagi mereka yang menyandang predikat anak gaul Bogor.
Ia menolak untuk disebut namanya dan meminta obrolan
sepak bola kami disamarkan. Dan setelah mencari ide ke sana-sini akhirnya
tulisan ini berhasil dibuat.
***
Hai, perkenalkan namaku Kipo. Aku tak pandai pun tak
cerdas. Aku hanya suka mengamati dan menilai hal dari sudut pandangku sendiri.
Kau mungkin tak suka tapi apalah aku yang bisa menuntut ini-itu darimu.
Namaku Kipo. Aku pun tak begitu mengerti sepak bola,
kau yang lebih mengerti, aku tahu. Aku sendiri baru tahu sepak bola tepat di
saat teman-temanku mulai suka berpergian ke kampus menggunakan atribut - kalian
menyebutnya jersey - tim-tim Eropa. Ah, bahkan aku baru tahu bahwa ibukota
Romania adalah Bucharest setelah menyukai sepak bola.
Aku sudah diperkenalkan bahwa namaku Kipo. Aku tak
paham benar sepak bola, jangan engkau salahkan aku. Entah siapa yang hendak kau
salahkan, tapi jangan salahkan aku.
Kipo namaku dan aku suka Liverpool. Tak seperti
orang di depanku yang tak jelas suka Liverpool atau tim sekotanya. Apa namanya
yang bajunya biru-biru itu? Iya, iya, itu. Maaf, kan aku sudah bilang kalau aku
tak begitu suka sepak bola.
Aku Kipo, dan aku baru suka sepak bola, seperti yang
aku bilang tadi. Jangan tanya dari kapan aku suka tim yang pakai baju
merah-merah itu karena kata orang depanku - yang akhirnya menulis ini - 'tak
penting dari kapan yang penting sampai kapan'. Cih, sok filosofis sekali dia.
Aku tak begitu menyukainya, ia suka berdebat dan memaksa.
Kipo namaku dan aku adalah teman orang yang
tulisannya sedang kalian baca saat ini. Sikapnya yang menyebalkan terus
memaksaku untuk memberitahunya apa yang ada di pikiranku soal Liverpool lawan
tim yang juga mengenakan kostum biru-biru itu. Chelsea. Teman-temanku di kampus
banyak yang memakai jersey biru-biru. Tapi aku tak suka warna biru. Merah lebih
bagus. Ah, kok malah melantur.
Mudah-mudahan orang yang di depanku ini tak menulis
soal kebiasaanku melantur ya? Semoga. Bisa malu kalau sampai ketahuan aku suka
bicara melantur, padahal aku sudah ja'im.
Seperti yang aku bilang, aku baru suka sepak bola.
Alasannya sederhana, Liverpool yang aku suka ini main bolanya bagus. Aku biasa
mengkambing-hitamkan sepak bola sebagai alasan propaganda para elit politik di
negeri ini. Tapi Liverpool ini mengubah pandanganku. Mainnya keren, karena
sering mencetak gol yang keren-keren. Luis Suarez, walaupun mukanya gak ganteng
tapi aku menyukainya. Mungkin karena ia sering mencetak gol ya?
Ah kan, orang di depanku mulai lagi. Aku sudah bilang ia suka berdebat. Setiap kali aku bilang pemain favoritku Suarez dia bicara aku semestinya lebih suka pada Andy Carroll. Akhirnya aku tahu siapa Carroll. Ia yang memukul kepala kiper ganteng Liverpool hingga kebobolan itu kan? Huh, tak ada ganteng-gantengnya.
Orang di depanku ini bebal. Asal kau tahu. Liverpool
setahuku memang selalu bermain menyerang seperti ini. Tapi ia berkata ada saat
Liverpool pun bermain bertahan seperti Chelsea malam itu. Aneh, ia pun sempat
menyebut nama Roy Hodgson. Siapa itu? Aku tak tahu.
Maaf, maaf aku melantur lagi. Seharusnya aku bicara
soal Chelsea yang orang ini tanyakan.
Aku Kipo, dan banyak orang, termasuk orang yang
sedang menulis ini bilang, kalau aku sok tahu. Aku pun bingung kenapa ia masih
ingin berteman denganku. Mungkin karen kadar kesotoyan kami sama-sama tinggi.
Padahal menurutku apa yang dilakukan Chelsea saat itu wajar-wajar saja.
Beberapa tahun lalu aku pernah sengaja menonton
Inter lawan Barcelona. Saat itu aku dipaksa bangun pagi-pagi buta menemani
mantan pacarku yang suka Barcelona. Kata mantanku itu, apa yang dilakukan Inter
seperti bencong dan Barcelona seharusnya menang, saat itu aku berpikir, apa
mungkin Barcelona yang berputar-putar terus menyerang membuatku ngantuk dan
bosan setengah mati itu sebenarnya menang? Tapi kok kata mantanku akhirnya yang
juara Inter? Aku bingung, benar-benar bingung.
Dan saat menyaksikan laga tim kesayanganku itu
bertanding lawan Chelsea, aku teringat sesuatu. Aku kenal pelatih lawan
berambut silver itu. Tingkahnya sama saat menang lawan Barcelona dikalahkannya,
Jose Mourinho. Ya! Ya! Orang yang sama!
Hei, ingat, aku tak mengerti sepak bola. Paling
tidak aku tak terlalu mengerti sepak bola seperti kalian. Tapi aku rasa
Liverpool tak ubahnya Barcelona yang tak menemukan cela untuk mencetak gol.
Bahkan pemain favoritku yang baru jadi pemenang Pemain Terbaik tak bisa
membongkarnya.
Mourinho, menurutku, begitu jumawa menepuk dadanya
di layar tivi yang aku tonton. Padahal kemenangannya seperti dihadiahi oleh
kapten timku. Aku kesal, sih. Tapi kata orang menyebalkan di hadapanku ini,
kalau aku kesal pada Gerrard lebih baik disimpan saja karena itu tak ubahnya
menyanyikan lagu Genjer-Genjer di masa Orde Baru. Hih ngeri, pikirku.
Tapi aku jadi paham satu hal. Bahwa tak peduli
seperti apa tim sepak bola bertanding, bertahan atau menyerang, toh siapapun
yang mencetak gol lebih banyak dari lawannya akan menang. Nyatanya, aku sudah
dua kali jadi saksi kalau tim yang bertahan total seperti Chelsea dan Inter -
waktu itu - pada akhirnya lebih banyak tersenyum dari yang menyerang sepanjang
pertandingan pada akhirnya. Istilah yang berhasil aku dapatkan sepintas di
otakku adalah, banyak jalan menuju Roma. Lalu, kalau memang banyak kenapa harus
mempersalahkan keputusan seseorang untuk mengambil jalan yang berbeda dengan
kita.
Duh, aku jadi semakin bingung. Aku terlalu filosofis seperti orang di depanku ini. He did not put 'annoying bastard' on his Twitter for nothing, did he?
Duh, aku jadi semakin bingung. Aku terlalu filosofis seperti orang di depanku ini. He did not put 'annoying bastard' on his Twitter for nothing, did he?
Namaku Kipo, itu yang aku tahu. Karena aku tak tahu
apa mantanku masih suka Barcelona sampai sekarang karena aku tahu timnya
sekarang tak seberapa bagus, padahal masih punya Messi. Ya biarlah, itu tak
penting. Dan meskipun kata temanku yang annoying di depanku peluang Liverpool
tipis untuk menjadi juara, aku masih percaya sampai secara matematis sudah
diputuskan gagal. Gapapa ya?
Seperti apa yang aku katakan sebelumnya jangan
salahkan aku dan opiniku yang tak bisa dibandingkan dengan dirimu. Salahkan
temanku yang memaksa untuk memasukan opiniku dalam tulisannya.
Iya, lain kali aku bakal memaksanya untuk jadi
penulis zodiak saja. Itu lebih cocok untuknya yang sok tahu.
***
Written by: @MahendraSatya
ynwa bro.
ReplyDelete