1 May 2014

Namaku Kipo....

Perkenalkan teman saya yang bernama Kipo. Sudah pasti nama samaran. Ketika saya tanya secara random kira-kira jika bisa menyamarkan nama, nama apa yang akan ia pilih. Lalu, ia sendiri yang meminta untuk disamarkan menjadi Kipo. 


Percakapan ini terjadi sehari setelah Liverpool takluk di Anfield oleh Chelsea. Lokasi obrolan kami adalah di sebuah cafe pojokan kota Hujan yang entah berapa hari lagi akan ditutup karena sepi pengunjung.

Seperti sedang membicarakan ideologi terlarang di negeri ini, kami memilih untuk ngobrol berdua di tempat yang jauh dari kata mainstream bagi mereka yang menyandang predikat anak gaul Bogor.

Ia menolak untuk disebut namanya dan meminta obrolan sepak bola kami disamarkan. Dan setelah mencari ide ke sana-sini akhirnya tulisan ini berhasil dibuat.

***

Hai, perkenalkan namaku Kipo. Aku tak pandai pun tak cerdas. Aku hanya suka mengamati dan menilai hal dari sudut pandangku sendiri. Kau mungkin tak suka tapi apalah aku yang bisa menuntut ini-itu darimu.
Namaku Kipo. Aku pun tak begitu mengerti sepak bola, kau yang lebih mengerti, aku tahu. Aku sendiri baru tahu sepak bola tepat di saat teman-temanku mulai suka berpergian ke kampus menggunakan atribut - kalian menyebutnya jersey - tim-tim Eropa. Ah, bahkan aku baru tahu bahwa ibukota Romania adalah Bucharest setelah menyukai sepak bola.

Aku sudah diperkenalkan bahwa namaku Kipo. Aku tak paham benar sepak bola, jangan engkau salahkan aku. Entah siapa yang hendak kau salahkan, tapi jangan salahkan aku. 
Kipo namaku dan aku suka Liverpool. Tak seperti orang di depanku yang tak jelas suka Liverpool atau tim sekotanya. Apa namanya yang bajunya biru-biru itu? Iya, iya, itu. Maaf, kan aku sudah bilang kalau aku tak begitu suka sepak bola.

Aku Kipo, dan aku baru suka sepak bola, seperti yang aku bilang tadi. Jangan tanya dari kapan aku suka tim yang pakai baju merah-merah itu karena kata orang depanku - yang akhirnya menulis ini - 'tak penting dari kapan yang penting sampai kapan'. Cih, sok filosofis sekali dia. Aku tak begitu menyukainya, ia suka berdebat dan memaksa.

Kipo namaku dan aku adalah teman orang yang tulisannya sedang kalian baca saat ini. Sikapnya yang menyebalkan terus memaksaku untuk memberitahunya apa yang ada di pikiranku soal Liverpool lawan tim yang juga mengenakan kostum biru-biru itu. Chelsea. Teman-temanku di kampus banyak yang memakai jersey biru-biru. Tapi aku tak suka warna biru. Merah lebih bagus. Ah, kok malah melantur.

Mudah-mudahan orang yang di depanku ini tak menulis soal kebiasaanku melantur ya? Semoga. Bisa malu kalau sampai ketahuan aku suka bicara melantur, padahal aku sudah ja'im.

Seperti yang aku bilang, aku baru suka sepak bola. Alasannya sederhana, Liverpool yang aku suka ini main bolanya bagus. Aku biasa mengkambing-hitamkan sepak bola sebagai alasan propaganda para elit politik di negeri ini. Tapi Liverpool ini mengubah pandanganku. Mainnya keren, karena sering mencetak gol yang keren-keren. Luis Suarez, walaupun mukanya gak ganteng tapi aku menyukainya. Mungkin karena ia sering mencetak gol ya?

Ah kan, orang di depanku mulai lagi. Aku sudah bilang ia suka berdebat. Setiap kali aku bilang pemain favoritku Suarez dia bicara aku semestinya lebih suka pada Andy Carroll. Akhirnya aku tahu siapa Carroll. Ia yang memukul kepala kiper ganteng Liverpool hingga kebobolan itu kan? Huh, tak ada ganteng-gantengnya.

Orang di depanku ini bebal. Asal kau tahu. Liverpool setahuku memang selalu bermain menyerang seperti ini. Tapi ia berkata ada saat Liverpool pun bermain bertahan seperti Chelsea malam itu. Aneh, ia pun sempat menyebut nama Roy Hodgson. Siapa itu? Aku tak tahu.

Maaf, maaf aku melantur lagi. Seharusnya aku bicara soal Chelsea yang orang ini tanyakan.
 Aku Kipo, dan banyak orang, termasuk orang yang sedang menulis ini bilang, kalau aku sok tahu. Aku pun bingung kenapa ia masih ingin berteman denganku. Mungkin karen kadar kesotoyan kami sama-sama tinggi. Padahal menurutku apa yang dilakukan Chelsea saat itu wajar-wajar saja.

Beberapa tahun lalu aku pernah sengaja menonton Inter lawan Barcelona. Saat itu aku dipaksa bangun pagi-pagi buta menemani mantan pacarku yang suka Barcelona. Kata mantanku itu, apa yang dilakukan Inter seperti bencong dan Barcelona seharusnya menang, saat itu aku berpikir, apa mungkin Barcelona yang berputar-putar terus menyerang membuatku ngantuk dan bosan setengah mati itu sebenarnya menang? Tapi kok kata mantanku akhirnya yang juara Inter? Aku bingung, benar-benar bingung.

Dan saat menyaksikan laga tim kesayanganku itu bertanding lawan Chelsea, aku teringat sesuatu. Aku kenal pelatih lawan berambut silver itu. Tingkahnya sama saat menang lawan Barcelona dikalahkannya, Jose Mourinho. Ya! Ya! Orang yang sama!

Hei, ingat, aku tak mengerti sepak bola. Paling tidak aku tak terlalu mengerti sepak bola seperti kalian. Tapi aku rasa Liverpool tak ubahnya Barcelona yang tak menemukan cela untuk mencetak gol. Bahkan pemain favoritku yang baru jadi pemenang Pemain Terbaik tak bisa membongkarnya.

Mourinho, menurutku, begitu jumawa menepuk dadanya di layar tivi yang aku tonton. Padahal kemenangannya seperti dihadiahi oleh kapten timku. Aku kesal, sih. Tapi kata orang menyebalkan di hadapanku ini, kalau aku kesal pada Gerrard lebih baik disimpan saja karena itu tak ubahnya menyanyikan lagu Genjer-Genjer di masa Orde Baru. Hih ngeri, pikirku.

Tapi aku jadi paham satu hal. Bahwa tak peduli seperti apa tim sepak bola bertanding, bertahan atau menyerang, toh siapapun yang mencetak gol lebih banyak dari lawannya akan menang. Nyatanya, aku sudah dua kali jadi saksi kalau tim yang bertahan total seperti Chelsea dan Inter - waktu itu - pada akhirnya lebih banyak tersenyum dari yang menyerang sepanjang pertandingan pada akhirnya. Istilah yang berhasil aku dapatkan sepintas di otakku adalah, banyak jalan menuju Roma. Lalu, kalau memang banyak kenapa harus mempersalahkan keputusan seseorang untuk mengambil jalan yang berbeda dengan kita.

Duh, aku jadi semakin bingung. Aku terlalu filosofis seperti orang di depanku ini. He did not put 'annoying bastard' on his Twitter for nothing, did he?

Namaku Kipo, itu yang aku tahu. Karena aku tak tahu apa mantanku masih suka Barcelona sampai sekarang karena aku tahu timnya sekarang tak seberapa bagus, padahal masih punya Messi. Ya biarlah, itu tak penting. Dan meskipun kata temanku yang annoying di depanku peluang Liverpool tipis untuk menjadi juara, aku masih percaya sampai secara matematis sudah diputuskan gagal. Gapapa ya?

Seperti apa yang aku katakan sebelumnya jangan salahkan aku dan opiniku yang tak bisa dibandingkan dengan dirimu. Salahkan temanku yang memaksa untuk memasukan opiniku dalam tulisannya.
Iya, lain kali aku bakal memaksanya untuk jadi penulis zodiak saja. Itu lebih cocok untuknya yang sok tahu.
 
***

Written by: @MahendraSatya

1 comment: